PENGHAPUSAN PIHUTANG

source : http://triyani.wordpress.com/2009/06/29/penghapusan-piutang-menurut-pajak/



Biaya Kerugian Penghapusan Piutang menurut pajak

Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-undang PPh mengatur bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat tertentu) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses). Syarat-syarat yang ditetapkan agar biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah sbb :

A). telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
~ Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
~ telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
~ syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh;

Dalam penjelasan pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh dijelaskan bahwa : Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.

Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya”.

Berdasarkan penjelasan pasal 6 ayat 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan agar piutang yang nyata-nyata tidak dapat dihapus dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah untuk membuktikan bahwa wajib pajak (kreditur) telah melakukan upaya yang maksimal atau terakhir dalam melakukan penagihan piutangnya.

Sebagai petunjuk pelaksanaan dari pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh, pada tanggal 10 Juni 2009 Menteri Keuangan telah menetapkan PMK-105/PMK.03/2009 (“PMK-105”) tentang “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto” yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009.

Berikut ini hal-hal yang diatur dalam PMK-105 tersebut :
1) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
3) Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi :

a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya Yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan Himpunan Bank-Bnak Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia.

4) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.

5) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
6) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan :

a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

7) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

8 ) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK-105 (Point 5 huruf c diatas) dilakukan dengan cara melampirkan :

a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapukan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.

9) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.



Penghapusan Piutang Debitur Kecil

1) Untuk dapat membebankan biaya kerugian piutang (Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih) atas debitur kecil dan debitur kecil lainnya tidak diperlukan syarat-syarat seperti tersebut pada point 5 diatas.
2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:

a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tanu (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiaya usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

3) Piutang yang nyata-nyata tidak ditagih kepada debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Catatan :

Entah kenapa syarat yang menurut pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh tertulis “telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial” dalam PMK-105 berubah menjadi “telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan”

Bagi kreditur, untuk membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial salah satunya dapat dilakukan dengan menunjukkan laporan laba-rugi komersial. Hal ini tentu relative lebih mudah dibandingkan dengan membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan.

Dalam PMK-105 juga tidak disebutkan bagaimana caranya kreditur membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur. Apakah kreditur wajib meminta laporan keuangan debitur? Atau dengan cara lain? Bagaimana jika debitur adalah WP orang pribadi yang tidak melakukan pembukuan?



12 Komentar »

A) saya kira cukup dengan perjanjian antara kreditur dan debitur itu mba.

Komentar oleh raden suparman | Juli 3, 2009 | Balas

B) Saya ada pengalaman untuk mengurus ini. Memang, sebenarnya lebih enak jika bisa dibuat perjanjian. Namun ada kalanya debitur yang tidak mau, apalagi yang “melek” pajak, karena penghapusan itu akan menimbulkan pajak penghasilan bagi dia.

Dulu saya pernah mengurus sebelum ada PMK 105 ini, sehingga alternatif nya adalah mendaftarkannya ke pengadilan negeri (jakarta Pusat), yang matre nya minta ampun.

Yang saya mau tanya: sekarang kan pilihannya banyak, either dengan perjanjian ATAU pengumuman ATAU pengakuan ATAU pendaftaran ke pengadilan. Kesimpulannya, alternatif jika debitur benar2 tidak kooperatif, bisa dengan pengumuman saja dong, tanpa perlu berurusan dengan pengadilan??

Ada yg sudah punya pengalaman??

Komentar oleh Andika | Juli 27, 2009 | Balas

C) hehehe…
Thanks Pak Raden :)
Adakalanya penghapusan piutang dilakukan secara sepihak karena berbagai kondisi.
Misalnya Debitur sudah dilikuidasi dan tidak bisa diketemukan lagi sehingga membuat perjanjian antara Kreditur dan Debitur tidak bisa dilakukan.

Dalam PMK-105, Syarat adanya perjanjian hanyalah merupakan opsi bagi kreditur. Jika tidak ada perjanjian bisa dengan cara mendaftarkan perkara penagihannya ke PN/BUPLN, atau dengan cara mempublikasikannya di Media.

Menurut saya tidak tepat penggunaan syarat ‘sudah dibukukan sbg penghasilan oleh debitur’ untuk dapat memperhitungkan sebagai pengurang penghasilan.

Semestinya hal itu adalah pekerjaan DJP untuk “mengejar” Wajib Pajak yang hutangnya telah diapuskan oleh kreditur -berdasarkan daftar nominative- agar diketahui apakah penghasilan dari penghapusan hutang tsb sudah dilaporkan atau belum, PPh yang terutang sudah dibayar atau belum. Bukan dengan cara melempar tanggung jawab ke kreditur :D

PS : Saya tadi coba post koment di blog pak Raden kok ga bisa2 yah.. jd saya post disini aja :)

Komentar oleh triyani | Juli 3, 2009 | Balas

D) Trim,s Mbak Tri “Salam Kenal”

Dari Tulisan Yang berjudul ” Diaya Kerugian Penghapusan Piutang Menurut Pajak ” Cukup Bagus Kalau boleh komentar
Masih beberapa tulisan yang salah artinya edittingnya masih kurang, atau dari tata bahasanya ada berapa huruf yang merupakan awal kalimat harusnya huruf Kapital tetapi huruf biasa. Ada yang kami pikir sangat penting adalah sumber sebagai Legalitas dari isi tulisan yaitu ” Sumber
atau PUSTAKA ” supaya dicantumkan Sumbernya dengan jelas.
Memang dari tulisan ini kelihatan dari UU perpajagan tapi tidak dicantumkan dengan tegas trim,s .din

Komentar oleh much | Juli 24, 2009 | Balas

E) aku blogger baru, porjo juga, salam kenal yaaaaaaaaaaaaaaaaa, kunjung balik yah

Komentar oleh mas doyok | Juli 26, 2009 | Balas

F) salam kenal mbak Tri, saya mau nanya mbak kalau penghapusan piutang karyawan apakah juga diperbolehkan (misal jumlah yang dihapus Rp 32 juta) apakah bisa dikategorikan sebagai debitur kecil ya mbak ?

Trims,
from dewey sda

Komentar oleh Dewey | Agustus 26, 2009 | Balas

G) Siang Mbak Triyani, salam kenal..saya Yoga, tinggal di denpasar, kebetulan saya search tentang pertanyaan saya tentang PMK 105 yang baru khususnya pasal 3 ayat 1(a) yang agak bingung bacanya..gimana caranya kita mebuktikan bahwa AP itu dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur..memangnya mereka perusahaan khusus pengempalng hutang?(saya asumsikan ini subject pastinya badan ya..)Atau saya yang mengartikannya beda.
Senang sekali bila bisa komunikasi langsung..lewat blog saya agak gaptek nih..mungkin by email. Saya masih belajar tentang pajak, perlu rekan diskusi nih kalau ada masalah. Thanks ya..saya bisa di email langsung di yoga@courts.co.id.

Salam
Yoga

>> Salam Kenal. iya, saya jg mempertanyakan hal yang sama :)

Komentar oleh Yoga | Oktober 15, 2009 | Balas

H) Siang Mbak Triyani, salam kenal..saya Yoga, tinggal di denpasar, kebetulan saya search tentang pertanyaan saya tentang PMK 105 yang baru khususnya pasal 3 ayat 1(a) yang agak bingung bacanya..gimana caranya kita mebuktikan bahwa AP itu dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur..memangnya mereka perusahaan khusus pengempalng hutang?(saya asumsikan ini subject pastinya badan ya..)Atau saya yang mengartikannya beda.
Senang sekali bila bisa komunikasi langsung..lewat blog saya agak gaptek nih..mungkin by email. Saya masih belajar tentang pajak, perlu rekan diskusi nih kalau ada masalah. Thanks ya..saya bisa di email langsung di yoga@courtsindonesia.com

Salam
Yoga

>> Nah, ini jg yang jadi pertanyaan saya :)

Komentar oleh Yoga | Oktober 15, 2009 | Balas

J) Numpang komentar…

Terkait Pasal 3 ayat (1) poin a, “….berkenaan dengan telah dibukukannya sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun buku yang bersangkutan;”.

Di kantor saya juga sedang mencoba mencari2 jawaban untuk pasal tersebut. Karena memang tindakan itu, dilakukan oleh Debitur. Bukan oleh Kreditur sebagaimana peraturan terdahulu.

Untuk analisis sementara :
Memang tidak disebutkan, bagaimana kita bisa tahu kalau dalam pembukuan Debitur, hutang yang dihapus dicatat sebagai penghasilan dalam pembukuannya. Namun tidak disebutkan juga kalau Kreditur “wajib” memperlihatkan pembukuan Debitur sebagai syarat. Dengan demikian menjadi kewajiban Debitur melakukan pencatatan tersebut secara otomatis pada saat penghapusan hutang tersebut dilakukan/diberitahukan/diberikan oleh Kreditur.

Terlepas dari penghapusan hutang akan menjadi beban pajak bagi Debitur, timbul pertanyaan, bagaimana syarat tersebut bisa terpenuhi pada saat kita melaporkan ke DJP? Apa yang membuat kita yakin kalau penghapusan hutang tersebut akan telah dicatat sebagai pendapatan bagi Debitur.

Kenyataannya memang Kreditur tidak bisa memaksakan hal tersebut kalau Debitur nakal dan tidak kooperatif dalam kondisi penyelesaian hutangnya. Namun walaupun tidak serta merta Kreditur tidak bisa membuktikan pencatatan tersebut, Kreditur juga tidak harus/wajib membawa bukti pencatatan tersebut. Jadi untuk pencatatan tersebut memang menjadi tanggung jawab Debitur.

Kalau menurut saya, dengan dipenuhinya salah satu syarat dari Pasal 3 ayat (1) poin c, maka seketika itu juga “hutang Debitur” berubah menjadi “pendapatan” dalam pembukuannya. Kalau Debitur tidak mencatat itu sebagai “pendapatan” maka akan dikoreksi kembali oleh DJP pada saat lapor pajak tahunan. Dengan asumsi terjadi crosscheck oleh pihak DJP.

Yang penting kita lakukan adalah, melaporkan daftar Debitur yang mau dihapus hutangnya dan salah satu dari syarat poin c dilaksanakan (mana yang lebih memungkinkan dilakukan oleh Kreditur).

Terkait dengan nasabah pribadi yang tidak melakukan pembukuan, kondisi ini akan terlihat pada saat pelaporan pajak penghasilan. Koreksi akan terjadi oleh pihak DJP berdasarkan daftar laporan piutang tidak tertagih dari Kreditur.

Kalau saya melihat, syarat NPWP tersebut merupakan salah satu cara dari DJP untuk menjaring wajib pajak yang belum memilik NPWP. Karena pihak Bank/perusahaan pembiayaan/lembaga pemberi kredit lainnya, akan mensyaratkan NPWP pada saat pengajuan kredit. Tidak adanya dokumen tersebut akan merugikan Kreditur sendiri, karena akan mengalami kesulitan/tidak dapat menghapus piutang tak tertagih yang dimilikinya.

Bagi setiap orang yang tidak memiliki NPWP, akan mengalami kesulitan/tidak bisa mendapatkan fasilitas-fasilitas tersebut. Solusinya orang tersebut harus punya NPWP.

Thanks

EFREM

>> Terima kasih, Pak Efrem.

Komentar oleh Ephraim Hutabarat | Oktober 15, 2009 | Balas

K) bingung aku…pajek kok marai aku bingung, biasane aku ke kantor pajak…ngis form…udah

Komentar oleh plr-gratis | Desember 25, 2009 | Balas

L) [...] Piutang menurut Pajak-Part 2 Akhirnya PMK-105/PJ./2009 tentang piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari … diubah dengan PMK-57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret [...]

Ping balik oleh Penghapusan Piutang menurut Pajak-Part 2 « Triyani’s Weblog | Maret 22, 2010 | Balas

M) mba kalo mau menghapus piutang karyawan yang, karyawannya sudah tidak terdaftar sebagai karyawan gimana ya??
untuk perusahaan outsourching.
terimakasih ya mba..

REKONSILIASI FISKAL


source : http://www.klinik-pajak.com/2009/rekonsiliasi-fiskal.html
(in modif)


Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan sesuai dengan UU KUP Nomor 28 tahun 2007 adalah tanggal 30 April thn N+1 untuk periode N. Sebelum membuat SPT Tahunan PPh Badan maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat rekonsiliasi fiskal yang tujuannya adalah agar laporan keuangan komersial sebelum datanya dimasukkan dalam SPT Tahunan PPh terlebih dahulu disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Rekonsiliasi fiskal perlu dilakukan karena terdapat beberapa perbedaan perlakuan baik itu mengenai pengakuan penghasilan maupun mengenai biaya/beban. Rekonsiliasi yang dilakukan akan menghasilan koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba kena pajak serta Pajak Penghasilan (PPh) terutang.

comment EMY : Bahwa untuk penyajian laporan keuangan di Indonesia mempunyai dasar hukum yang berbeda, yaitu standart akuntansi Indonesia yaitu SAK yang mengadopt standart akuntansi international (GPA) atau ETAP untuk usaha kecil VERSUS dasar hukum pajak, untuk penyajian laporan keuangan yang diperuntukkan pajak.



Jenis Perbedaan Pengakuan antara Komersial dan Fiskal

Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:

Beda Tetap (Permanent Different)
Beda Waktu (Time Different)


Beda Tetap (Permanent Different)

Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.



Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena
:


A. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)

B. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
Penghasilan berupa hadiah undian
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)


Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:

biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
yang bukan objek pajak;
yang pengenaan pajaknya bersifat final;
yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan

~ penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
~ Pajak Penghasilan
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
~ biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)



Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.

Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.


Beda Waktu (Time Different)

Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.



Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.

Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena
:


Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
dan sebagainya



Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.

Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.



Format Rekonsiliasi Fiskal





Laba menurut Laporan Keuangan komersial ……………..Rp

Koreksi Positif (Ditambah)

Pengeluaran yg tdk dpt dikurangkan……………….. Rp
Pengeluaran berkaitan penghasilan yang bukan objek pajak……… Rp
Pengeluaran berkaitan penghasilan yg telah dikenakan pajak bersifat final..Rp.
Beda penghitungan antara PSAK dan PPh …………………………………..Rp. Rp.



Koreksi Negatif (Dikurangi)

Penghasilan yang bukan objek pajak …………………………………. Rp
Penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final…………. Rp
Beda penghitungan antara PSAK dan PPh……………………………………..Rp Rp.

ANALISA FUNDAMENTAL

disadur : @investasi-saham.com


Membeli saham tanpa pernah tahu bisnis dan kinerja perusahaan tsb. tidak ada bedanya dengan membeli togel alias toto gelap atau judi jenis lainnya. Ironisnya praktek ini lazim terjadi. Padahal bursa saham tidak pernah didirikan untuk menjadi tempat judi atau casino bentuk lain. Dan saham tidak dibuat menjadi kartu lotere yang diberi kode-kode. Dari awal pertama kali dikenal di Belanda dan Inggris beberapa abad lalu, saham di bentuk untuk memberikan modal kepada para penguasaha agar mereka bisa menjalankan suatu bisnis. Sebagai imbalan modal yang ditanamkan, investor mendapatkan porsi kepemilikan dan hak atas keuntungan bisnis tadi.
Agar terhindar dari praktek judi berkedok investasi, maka pada bagian selanjutnya kami akan mempersenjatai anda dengan perangkat-perangkat sederhana yang akan berguna untuk menganalisa suatu saham.


1. Sekilas Tentang Neraca Keuangan

Tujuan utama didirikannya suatu perusahaan adalah memberikan keuntungan, tak terkecuali perusahaan publik. Untuk mengetahui keuntungan perusahaan, kita bisa lihat laporan laba rugi. Disitu kita terlihat laba (rugi) kotor, laba (rugi) usaha, dan laba (rugi) bersih dan laba bersih per saham. Akan tetapi mengenali laporan rugi (laba) bukanlah satu-satunya cara dalam menilai suatu perusahaan. Sebab laporan laba (rugi) hanya merefleksikan laba (rugi) aktivitas satu tahun semata, sedangkan nilai kekayaan perusahaan yang sebenarnya dicantumkan pada Neraca.
Mengenal Neraca sangatlah penting untuk memahami apakah perusahaan yang anda beli benar-benar mempunyai nilai atau tidak. Kebanyakan investor memberikan perhatian berlebihan pada laporan laba(rugi) tanpa mempedulikan neraca atau saudara sepupu-nya, Laporan Arus Kas. Padahal selain bisa melihat nilai kekayaan perusahaan yang sebenarnya, dari neraca kita dapat lebih mengetahui apakah perusahaan yang kita pilih dapat terus tumbuh dengan modal sendiri, pinjam dari pihak ketiga, mengeluarkan obligasi atau menambah saham baru. Dari Neraca kita juga bisa nilai apakah aset perusahaan dikelola secara efisien, mempunyai masalah dengan tagihan pada pelanggan, mempunyai masalah keuangan, atau secara sembrono mengelola persediaan.
Bagian berikut akan mengajak anda langkah demi langkah menelusuri dan memahami isi neraca.

Bagian Neraca
Secara umum, neraca bisa dikelompokkan pada 5 bagian saja. Ya benar…cuma lima bagian saja ! 2 bagian aktiva yaitu Aktiva Lancar dan Aktiva Tetap dan 3 bagian Pasiva, yaitu Kewajiban Lancar, Kewajiban Jangka Panjang dan Ekuitas.

Aktiva lancar (Current Asset) merupakan kekayaan berupa harta likuid atau dapat digunakan untuk berinvestasi atau membayar kewajiban dalam waktu dekat (biasanya di bawah satu tahun), contohnya adalah uang kas, deposito, investasi jangka pendek, barang jadi, dan piutang usaha. Aktiva Lancar disusun berurutan dari atas kebawah berdasarkan likuiditasnya, atau urutan seberapa cepat asset tersebut bisa dirubah menjadi uang.

Aktiva Tetap (Fixed Asset) merupakan kekayaan berupa barang investasi yang tidak likuid atau tidak dapat diuangkan secara cepat tanpa menimbulkan penurunan dalam penilaiannya. Contohnya adalah tanah, gedung, kendaraan bermotor, mesin-mesin produksi, dan juga aktiva lain yang tidak berwujud seperti hak paten, royalti, dan hak merek.

Kewajiban Jangka Pendek (Current Liabilities) adalah kewajiban yang mesti dilunasi dalam jangka waktu satu tahun, contohnya adalah hutang usaha, hutang pajak , hutang jangka panjang yang jatuh tempo dalam satu tahun.

Kewajiban Jangka Panjang (Long Term-Liabilities) merupakan kewajiaban yang jatuh tempo diatas satu tahuncontohnya adalah hutang bank, hutang obligasi, hutang sewa guna usaha, dan lain-lain.
Ekuitas (Shareholders Equity) terdiri dari modal saham, tambahan modal disetor, dan laba ditahan.

Aktiva Lancar
Aktiva lancar adalah kas dan aset-aset lainnya yang dapat ditukarkan menjadi kas (uang) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun atau dalam 1 (satu) periode kegiatan normal perusahaan. Paling tidak ada 5 (lima) jenis aktiva lancar yang dapat dijadikan acuan untuk menilai sebuah perusahaan, yaitu Kas & Setara Kas, Surat-surat Berharga, Piutang, Persediaan, dan Biaya dibayar di muka.

Kas dan setara kas
Yang termasuk di dalam komponen ini adalah asset dalam bentuk kas dan kas dalam bank. Aset yang termasuk dalam komponen Aktiva Lancar ini merupakan asset yang paling cair bagi perusahaan karena dapat secara langsung digunakan untuk segala macam transaksi.

Surat-surat Berharga
Surat-surat berharga dapat berupa saham, obligasi atau surat-surat berharga lain yang dimiliki perusahaan yang bertujuan untuk memutarkan kelebihan uang tunai yang tidak ditujukan untuk investasi jangka panjang.

Piutang
Piutang adalah dana perusahaan pada perorangan atau perusahaan lainnya sebagai konsekwensi penjualan dalam bentuk kredit/pinjaman. Pada akhir periode yang ditentukan, dana tersebut kemudian dapat dicairkan dalam bentuk kas (uang). Terkadang piutang naik lebih cepat dari penjualan, ini mengindikasikan masalah pada penagihan (pembayaran). Untuk menganalisa piutang dipakai receivable turn over yang menghitung lama penerimaan pembayaran rata-rata.

Penyisihan piutang ragu-ragu
Penyisihan piutang ragu-ragu adalah sejumlah dana yang disisihkan untuk mengantisipasi kemungkinan gagal bayar oleh konsumen perusahaan. Jumlah yang disisihkan tersebut dihitung berdasarkan besarnya piutang yang tak tertagih dalam periode tertentu.

Persediaan
Persediaan merupakan barang-barang yang dimiliki perusahaan untuk dijual kembali atau digunakan dalam kegiatan perusahaan. Barang-barang ini dapat merupakan hasil produksi atau komponen produksi perusahaan. Tidak semua perusahaan memiliki persediaan, terutama jika perusahaan tersebut bergerak di bidang jasa. Dua hal yang perlu diperhatikan dari persediaan :
pertama; nilai yang dilaporkan sering berbeda dengan nilai wajarnya karena perbedaan penerapan sistem akuntansi,
kedua; nilai persediaan biasanya besar dan merupakan sumber yang menyerap penggunaan dana. Jika tidak diolah secara efisien akan menghambat aliran dana. Untuk mengukur persediaan, kita akan bahas dengan inventory turnover yang menghitung perputaran persediaan selama satu tahun.

Biaya dibayar di muka
Yang terakhir adalah biaya dibayar dimuka. Komponen ini merupakan salah satu bentuk pengeluaran yang telah dibayar perusahaan kepada pemasok/supplier perusahaan sebelum perusahaan menerima barang atau jasa tersebut.

Aktiva Tetap
Total Aset adalah asset-aset yang tidak dapat dicairkan dalam satu tahun Komponen antara lain terdiri dari tanah, bangunan, pabrik, mesin-mesin atau kendaraan perusahaan yang digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan. Nilai Aktiva tetap sangat bias, karena tidak dicatat pada harga perolehan masa lalu (historical) dan mencerminkan nilai wajar saat ini. Selain itu hampir seluruh asset yang termasuk dalam kategori tersebut dalam periode tertentu dikurangi nilainya. Pengurangan nilai tersebut dikenal dengan istilah depresiasi. Tujuan dilakukannya depresiasi adalah untuk kepentingan perhitungan pajak, dan penerapan sistem depresiasi ini juga sering berbeda antar perusahaan karena diijinkan oleh sistem akuntansi

Kewajiban Lancar
Kewajiban Lancar adalah kewajiban-kewajiban yang akan jatuh tempo dalam satu tahun atau dalam dalam satu periode kegiatan normal perusahaan. Kewajiban Lancar dapat dibagi ke dalam 5 (lima) kategori utama, yaitu Hutang Dagang, Biaya masih harus dibayar, Hutang Pajak, Hutang Jangka Panjang yang jatuh tempo dalam 1 (satu) tahun, dan Hutang Jangka Pendek lainnya.

Hutang Dagang
Hutang merupakan kebalikan dari piutang, yaitu sejumlah dana yang dipinjam oleh perusahaan dalam bentuk barang atau jasa yang digunakan untuk membiayai kegiatan utama perusahaan.

Biaya masih harus dibayar
Biaya ini berasal dari biaya-biaya yang dibebankan kepada perusahaan tetapi pembayarannya belum jatuh tempo. Biasanya biaya ini berupa biaya pemasaran atau biaya distribusi yang ditagih pada satu periode tertentu tetapi belum jatuh tempo.

Kewajiban Jangka Pendek lainnya
Yang termasuk dalam komponen ini adalah hutang-hutang perusahaan terhadap pihak ketiga yang jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan ke depan. Selain kewajiban jangka pendek, komponen lain yang juga menjadi salah satu bagian dari Kewajiban Lancar adalah kewajiban jangka panjang yang juga jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan ke depan.

Kewajiban Jangka Panjang
Yang dimaksud dengan kewajiban jangka panjang adalah pinjaman yang jatuh tempo lebih dari 1 (satu) tahun. Biasanya pinjaman ini berasal dari bank atau lembaga keuangan lainnya yang dijamin oleh berbagai jenis asset yang terdapat dalam Neraca Keuangan, seperti persediaan. Biasanya dalam Laporan Keuangan sebuah perusahaan, terdapat catatan tambahan yang menjelaskan jatuh tempo dan tingkat bunga yang harus dibayar oleh perusahaan.

Ekuitas
Komponen utama terakhir adalah Ekuitas yang biasanya terdiri dari Modal Saham, Agio Saham dan Saldo Laba. Modal Saham pada dasarnya adalah nilai pari saham yang dicatat hanya demi kepentingan akuntansi semata. Sehingga komponen ini tidak memiliki pengaruh secara langsung dengan nilai saham perusahaan. Agio Saham merupakan tambahan kas yang diterima perusahaan ketika mengeluarkan saham akibat selisih harga jual dan nilai pari. Sedangkan Saldo Laba didapatkan dari akumulasi laba yang telah dihasilkan perusahaan dikurangi dengan nilai dibayarkan kepada para pemegang saham baik melalui pembayaran dividen maupun pembelian saham kembali (stock buyback). Angka Saldo Laba ini digunakan untuk mengukur jumlah modal dan tingkat pengembalian terhadap modal yang telah dihasilkan perusahaan.


2. Cara Menilai Saham
Jika seseorang telah melakukan penilaian harga saham berdasarkan fundamentalnya, maka hal itu berarti ia telah menentukan keputusan untuk membeli dan atau menjual sahamnya dengan baik. Sebab tanpa melalui nilai-nilai fundamental perusahaan, seseorang akan terjebak dalam kegiatan spekulasi perdagangan saham yang hanya mengandalkan nyali semata.


Tulisan-tulisan berikut ini akan menjelaskan 5 (lima) metode pendekatan yang lazim dilakukan untuk menilai sebuah perusahaan, yang terdiri metode penilaian berdasarkan laba, pendapatan, arus kas, dan ekuitas.

Penilaian Berdasarkan Laba
Laba per Saham dan Rasio Harga per Laba (Price-Earning-Ratio)
Cara yang paling umum untuk menilai sebuah perusahaan adalah menggunakan labanya. Laba, dalam hal ini laba bersih, adalah sejumlah dan yang tersisa setelah perusahaan membayar semua pengeluarannya. Untuk melihat perbandingannya secara relevan, ukuran yang biasa digunakan adalah laba per saham (earning per share atau disingkat EPS).
Laba per saham didapat dari pembagian laba bersih dengan jumlah saham yang beredar. Contohnya jika laba bersih perusahaan B adalah Rp 100 juta, sedangkan jumlah saham yang beredar saat itu adalah 1 juta lembar saham. Arti dari Laba per saham ini sebenarnya tidak menjadi penting jika tidak dibandingkan dengan harga saham perusahaan tersebut. Adalah perbandingan harga saham dengan laba per saham yang kemudian menjadi ukuran penting yang menjadi landasan pertimbangan seorang investor membeli saham sebuah perusahaan. Perbandingan tersebut dikenal dengan price-earning-ratio (P/E).
Banyak sekali investor hanya mengambil PE ratio sebagai pembanding dan beranggapan bahwa PE rendah berarti perusahaan tersebut dijual dengan harga murah. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab seringkali PE yang rendah dibandingkan industri, mengindikasikan adanya masalah pada perusahaan tersebut. Selain PE menjadi kurang relevan menilai kinerja operasional perusahaan karena distorsi angka laba (rugi) bersih akibat penerapan akuntansi pada item laba (rugi) akibat selisih kurs. Buat menghilangkan distorsi ini, sederhananya angka yang dipakai bukan laba bersih per saham (EPS) melainkan laba usaha per saham (Operating Profit per Share atau kita singkat saja OPS).

Penilaian Berdasarkan Pendapatan
Penilaian: Rasio Harga per Penjualan
Setiap saat suatu perusahaan menjual barang dan atau jasa kepada konsumennya, berarti perusahaan tersebut telah menghasilkan pendapatan. Pendapatan merupakan hasil penjualan yang diterima oleh perusahaan atas barang dan atau jasanya. Oleh karena itu, jika terdapat perusahaan baru dalam sebuah industri maka penilaian yang sering dilakukan atas perusahaan tersebut adalah penilaian berdasarkan pendapatannya bukan labanya. Penilaian berdasarkan pendapatan didapatkan dengan menggunakan rasio price/sales (harga/penjualan), atau biasa disingkat PSR (Price-Sales-Ratio).
PSR didapatkan dari pembagian kapitalisasi pasar (market capitalization) pada saat ini dengan pendapatan selama 12 bulan terakhir. Adapun angka kapitalisasi pasar yang digunakan adalah perkalian antara harga saham pada saat perusahaan dinilai dikali dengan jumlah saham yang beredar ditambah dengan kewajiban jangka panjang.
Kapitalisasi Pasar = (Jmlh Saham beredar x Harga saham sekarang) + Kewajiban Jangka Panjang)
Biasanya kapitalisasi pasar hanya diitung dengan mengalikan jumlah saham beredar dengan harga sekarang, akan tetapi bagi yang konservatif mereka menambahkan kewajiban jangka panjang. Alasannya, ketika membeli suatu perusahaan, kita juga memperoleh hutang perusahaan tsb. Selanjutnya untuk mendapatkan PSR adalah membagi nilai kapitalisasi pasar di atas dengan penjualan selama 1 tahun terakhir.
Misalnya sebuah perusahaan C dengan 1 juta lembar saham beredar memiliki penjualan selama 1 tahun terakhir sebesar Rp 500 juta. Harga saham perusahaan sekarang adalah Rp 500 dengan kewajiban jangka panjang sebesar Rp 300 juta, maka perhitungan PSR-nya adalah:


Kapitalisasi Pasar
Secara normative, semakin kecil PSR semakin baik. Tetapi secara empiris, angka PSR masih perlu dibandingkan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama.
Penggunaan PSR
PSR bermanfaat untuk menilai perusahaan yang tidak menghasilkan laba tahun lalu. Kecuali perusahaan tsb. bankrut, PSR bermanfaat untuk membandingkan apakah angka penjualan perusahaan tsb. telah dinilai wajar dengan pesaingnya. Misalkan ABC rugi tahun lalu, tapi memiliki PSR 0.50, ketika rata-rata perusahaan sejenis memiliki PSR 2.0, kita bisa mengasumsikan ketika ABC mulai menghasilkan keuntungan maka ABC akan memiliki potensi kenaikan harga yang besar untuk mencapai PSR yang sama dengan perusahaan lainnya. Tahun 1998 mayoritas perusahaan yang terdaftar di BEJ mengalami kerugiaan. Tapi apakah berarti perusahaan tsb. tidak bernilai sama sekali…? Tentu tidak. Kita hanya butuh perbandingan PSR ketimbang PER, untuk mengukur uang yang dibayarkan untuk setiap penjualan perusahaan.
PSR juga sering dipakai menilai perusahaan dalam industri yang baru perkembang (contoh internet) sering dinilai degan menilai PSR bukannya PER.

Penilaian Berdasarkan Arus Kas
Arus Kas (EBITDA) & Biaya Non-Kas
Meskipun banyak investor yang mengabaikan aliran arus kas dalam penilaian sebuah perusahaan, para bankir yang bergerak dalam bidang investasi menjadikan hal ini sebagai ukuran umum dalam menilai perusahaan publik maupun swasta. Secara literature, arus kas adalah kas yang mengalir di perusahaan dalam satu periode kuartal atau satu periode tahun buku saat perusahaan menghitung biaya depresiasi atau amortisasi dari asset-aset tetap. Secara umum, arus kas didefinisikan sebagai laba sebelum pajak, beban bunga, depresiasi dan amortisasi (earning before interest, taxes, depreciation and amortization atau disingkat EBITDA), atau sama saja dengan Laba Usaha ditambah depresiasi dan amortisasi
Mengapa mesti merujuk pada laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi? Pertama, beban dan pendapatan bunga tidak diperhitungkan karena tidak berkaitan dengan kegiatan utama perusahaan. Begitu juga pajak, besar-kecilnya tergantung pada kebijakan pemerintah bukan dari usaha perusahaan. Selanjutnya depresiasi dan amortisasi, disebut juga biaya non kas, karena perusahaan tidak mengeluarkan uang untuk jenis biaya ini, sebab timbul karena kesepakatan akuntansi belaka. Jadi untuk menghitung uang yang dihasilkan perusahaan dipakai EBITDA.

Penggunaan Cashflow
Penerapan yang umum dilakukan dalam analisa arus kas adalah Discounted Cash Flow Method, yang menghitung present value (nilai kini) EBITDA yang akan dihasilkan perusahaan dimasa mendatang. Metode ini cukup rumit, sedangkan yang paling sederhana menghitung ratio yang bisa dihasilkan EBITDA dengan perusahaan sejenis untuk menilai efisiensi, mahal atau murahnya perusahaan tsb. relatif terhadap perusahaan lainnya. Contoh:
§ Price : (EBITDA/Saham), sebagai alternatif penghitungn PE Ratio
§ EBITDA/Total Aset, sebagai alternatif penghitungan Return on Asset (ROA)
§ EBITDA/Ekuitas, sebagai alternatif menghitung Return on Equity (ROE)
Pada dasarnya EBITDA berusaha untuk mengukur kas yang benar-benar dihasilkan dari usaha utama perusahaan, dan menghilangkan distorsi akibat kesepakatan akuntansi yang tidak relevan dalam menilai kinerja perusahaan.
ΓΌ Penilaian Berdasarkan Ekuitas
Apa yang dimaksud dengan Ekuitas ?
Ekuitas adalah nama lain untuk aktiva-aktiva yang berwujud (seperti kas, aktiva lancar, modal kerja dan modal ekuitas itu sendiri) maupun yang tidak berwujud (seperti hak paten) pada sebuah perusahaan.Ekuitas adalah seluruh kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan jika tiba-tiba perusahaan tersebut menghentikan kegiatan usahanya.
Wacana berikut ini akan menjelaskan bagaimana aktiva-aktiva berwujud dan tidak berwujud tersebut mempengaruhi penilaian harga saham sebuah perusahaan berdasarkan ekuitas.
Neraca Keuangan: Kas dan Modal Kerja
Kas. Merupakan aset yang paling gampang untuk dinilai. Banyak perusahaan memiliki kas dalam jumlah yang sangat besar, sementara harga pasarnya tidak merefleksikan keadaan ini. Misalkan perusahaan XYZ, memiliki kas Rp.100 juta , tanpa hutang, dengan saham beredar 1 juta lembar. Berarti satu lembar saham berhak atas Rp. 1000 kas yang dimiliki perusahaan. Cara ini merupakan cara cepat untuk membandingkan nilai pasar dengan dengan nilai kas perusahaan.
Membeli perusahaan dengan jumlah kas yang besar akan memberikan manfaat yang besar juga. Karena dengan dana kas yang tersedia tersebut, perusahaan dapat melakukan lebih banyak hal dalam rangka pengembangan usahanya. Bahkan pada saat suatu perusahaan memiliki masa depan yang tidak jelas, dana yang tersedia dalam kas akan dapat memberikan prospek yang menjanjikan.
Modal Kerja.Ukuran lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah dengan melihat modal kerja yang tersedia pada perusahaan. Modal kerja didapat dengan cara mengurangi aktiva lancar dengan kewajiban lancar perusahaan. Modal kerja merupakan nilai dana yang bisa digunakan untuk usaha sehari-hari. Dengan menghitung modal kerja per saham dibagi dengan harga pasar, maka kita bisa mendapat gambaran dana yang kita keluarkan untuk memperoleh modal kerja tsb. Jika nilai modal kerja per saham mendekati harga pasar, seperti halnya kas, kita sama saja membeli Rp. 1000 dengan pengeluaran Rp. 1000.
Ekuitas & Nilai Buku.
Price-to-book.Pada dasarnya Ekuitas merupakan salah satu bentuk pencatatan akuntansi mencerminkan besarnya nilai yang dimiliki oleh pemegang saham jika semua aset dilikuidasi dan dikurangi dengan kewajiban perusahaan. Ekuitas membantu anda dalam mengitung nilai buku (book value) suatu perusahaan. Dengan membagi ekuitas dengan jumlah saham beredar, anda memperoleh nilai buku per saham. Selanjutnya dengan membagi harga pasar dengan nilai buku per saham, anda memperoleh rasio harga per nilai buku (price-to book ratio). Seperti halnya angka ratio lainnya, angka ini berguna jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis, untuk menentukna mahal/murahnya suatu perusahaan.
ROE. Penggunaan lain dari ekuitas adalah untuk menentukan tingkat pengembalian pada ekuitas (Return on Equity / ROE). ROE adalah sebuah ukuran dari besarnya jumlah laba dari sebuah perusahaan yang dihasilkan dalam 1 tahun terakhjir dibandingkan dengan nilai ekuitasnya. Tidak seperti yang lainya, satuan dari ROE ini adalah persentase. Misalnya, jika perusahan D menghasilkan Rp 100 juta pada tahun lalu dengan nilai ekuitasnya sebesar Rp 1 miliar. Maka nilai ROE-nya adalah 10%.
Kelemahan Ekuitas. Dalam kondisi inflasi yang tinggi, nilai ekuitas tidak mencerminkan nilai buku perusahaan tersebut, karena tidak di sesuaikan dengan faktor inflasi yang semestinya menaikkan harga jual aktiva tetap. Selain itu dalam kondisi fluktuasi mata uang, nilai ekuitas juga akan terdistorsi, akibat pengakuan laba (rugi) akibat selisih kurs, yang nilainya seringkali signifikan dan mempengaruhi laba (rugi) bersih.
Aktiva tak berwujud
Merek adalah elemen yang penting paling penting pada aktiva tidak berwujud . Beberapa investor menilai bahwa merek merupakan salah satu pertimbangan utama dalam menilai perusahaan. Sebab merek dagang yang kuat juga berarti loyalitas konsumen, margin yang lebih besar, pangsa pasar mayoritas dan pertumbuhan diatas rata-rata pasar. Walau sulit mengukur nilai dari suatu merek, bukan berarti merek tidak mempunyai kontribusi luar biasa dalam penjualan. Sebagai contoh: Anda mau membayar lebih mahal untuk sebotol Aqua dibandingkan merek lainnya. Atau rokok anda sudi membayar lebih untuk sebungkus Dji Sam Soe atau Gudang Garam dibanding rokok merek lain.
ΓΌ Pendekatan Penilaian Lainnya
Penilaian Berdasarkan Yield
Dividen Yield adalah persentase dari harga saham perusahaan dengan besarnya dividen yang dibayarkannya. Misalnya. Aneka Tambang membayarkan Rp. 75 dividen tunai untuk tahun ‘99, sedangkan harga pasarnya adalah Rp. 1000, maka dividen yield-nya adalah:
Penilaian Berdasarkan Keanggotaan
Terkadang perusahaan dapat dinilai berdasarkan banyaknya konsumen. Penilaian berdasarkan pelanggan ini umumnya dilakukan pada perusahaan yang bergerak di bidang media dan komunikasi yang menghasilkan pendapatannya secara teratur. Pada penilaian ini, para analis biasanya menghitung nilai perusahaan dengan mengalikan jumlah pelanggan dengan suatu angka, rata-rata pendapatan per pelanggan yang dpendapatan perusahaan yang berasal dari seluruh pelanggannya. Setelah itu mereka akan menghitung nilai perusahaan tersebut berdasarkan angka yang didapatkan.
3. Lebih Dalam dengan ROE
Return on Equity (ROE) merupakan salah alat utama investor yang paling sering digunakan dalam menilai suatu saham. Dalam perhitungannya, secara umum ROE dihasilkan dari pembagian laba dengan ekuitas selama setahun terakhir. Walau cara menghitungnya sangat mudah akan tetapi dengan memahami secara mendalam ROE bisa memberikan gambaran tiga hal pokok :
1.kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profitability) ,
2. Efisiensi perusahaan dalam mengelola aset (assets management),
3. Hutang yang dipakai dalam melakukan usaha (financial leverage).
Angka ROE merupakan gambaran, berapa yang bisa perusahaan hasilkan untuk setiap Rp. 100 anda diperusahaan tsb. Namun jika dikaji lebih dalam ROE dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) komponen utama yang terdiri dariprofitabilitas, asset manajemen dan financial leverage. ROE dapat diformulakan sbb.
ROE = Profit Margin x Aset Turnover x Leverage
Sebelum menganalisa ROE lebih jauh, ada baiknya kita terlebih dahulu membahas arti dari tiap komponennya. Setelah itu, kita akan melengkapi analisis ini dengan penjelasan makna ROE secara keseluruhan.
Profit Margin
Profit margin didapat dari laba dibagi dengan nilai penjualan selama 1 tahun terakhir. Profit margin merupakan nilai sisa dari jumlah dana telah dibayarkan untuk biaya operasional perusahaan. Jadi, bila sebuah perusahaan ingin meningkatkan profit margin-nya, yang harus dilakukan adalah mengendalikan sedemikian rupa biaya-biaya yang ditimbulkan dari kegiatan operasional perusahaan. Sehingga dengan semakin tingginya profit margin berarti semakin tinggi juga ROE yang dihasilkan.
Selain itu, profit margin juga berarti sebuah gambaran kompetisi yang terjadi di industri perusahaan. Dalan industri yang kompetitif seperti sektor retail, perusahaan-perusahaan cenderung untuk memiliki profit margin yang rendah. Hal ini jauh berbeda dengan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di dalam industri yang cenderung monopolistik.
Karena tingginya tingkat kompetisi yang terjadi di dalam sebuah industri-lah yang menyebabkan tinggi rendahnya profit margin. Semakin banyak perusahaan di dalam industri maka semakin sedikit pangsa pasar yang didapatkan. Sebaliknya semakin sedikit perusahaan di dalam sebuah industri maka semakin banyak pangsa pasar yang didapatkan sehingga akan semakin besar profit margin yang dihasilkan. Selain itu jika perusahaan yang memiliki profit margin lebih tinggi dari perusahaan sejenis, mengindikasikan posisi perusahaan yang kuat dimata konsumen, dan efisiensi pengelolaan biaya.
Aset Manajemen
Aset manajemen didapatkan dari besarnya jumlah penjualan dibagi dengan total asset perusahaan. Angka perhitungan asset manajemen ini menggambarkan besarnya penjualan yang dihasilkan dari setiap rupiah asset yang dimiliki oleh perusahaan. Akan tetapi hasil pengitungan Aset Manajemen semata, hanya berguna sebagai angka perbandingan relatif. Perhitungan ini saja tidak akan bisa memmberitahukan anda apakah suatu perusahaan baik atau jelek. Anda harus memasukkannya dalam konteks menghitung ROE, sebab dengan memperhatikan angka efisiensi dari aset manajemen, profit margin dan financial leverage baru kita bisa memutuskan apakah suatu perusahaan menjalankan bisnis benar-benar bagus atau biasa saja.
Leverage
Leverage dapat didefinisikan sebagai besarnya rasio total asset dalam setiap ekuitasnya. Angka rasio leverage ini biasanya digunakan untuk mengetahui berapa besarnya utang dalam total asset perusahaan. Namun, sekali lagi seperti layaknya rasio-rasio yang lain, rasio leverage ini tidak memiliki angka yang bisa dijadikan benchmark. Adapun penjelasannya didapat dengan membandingkan rasio yang sama dengan perusahaan lainnya dalam industri yang sejenis. Mempunyai leverage yang tinggi tidak selalu berarti jelek. Bahkan leverage pada tingkat tertentu bisa meningkatkan ROE. Akan tetapi masalahnya pada leverage yang berlebihan pada akhirnya akan mengurangi profit margin dan mengurangi efisien perputaran aset.
Contoh industri yang mempunyai leverage tinggi adalah industri perkapalan. Karena barang-barang modal yang digunakan oleh perusahaan perkapalan harganya tinggi, maka tidak aneh jika hampir semua perusahaan dari dalam industri ini memiliki angka leverage yang besar. Tetapi, besarnya angka leverage ini tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan keuangan yang buruk. Bisa jadi perusahaan tersebut memiliki kinerja keuangan yang baik meskipun rasio leverage-nya tinggi. Hal ini terjadi karena kemungkinan besarnya utang tersebut dapat menghasilkan tingkat penjualan yang tinggi pula.
Jadi, hal yang penting diperhatikan dalam perhitungan leverage adalah besarnya rasio leverage rata-rata pada industri dimana perusahaan yang kita analisa bergerak. Sebab, tinggi rendahnya angka leverage tidak didasarkan pada suatu basis tertentu, tetapi lebih didasarkan relativitasnya terhadap industri perusahaan yang dinilai. Cara paling mudah untuk men-cek apakah leverage suatu perusahaan masih aman adalah dengan menghitung interest coverage, yaitu rasio yang menghitung EBIT (laba usaha) dibagi dengan beban bunga satu tahun.
Interest coverage mengindikasikan berapa kali kemampuan perusahaan untuk membayar beban bunga pinjaman mereka dalam setahun. Walau tidak ada angka patokan dimana interest coverage dianggap memadai, tapi secara umum orang beranggapan bahwa interest coverage sebaiknya 10x atau lebih tinggi.
Kesimpulan
Setelah mengetahui secara rinci mengenai definisi dari tiap-tiap komponen yang membentuk ROE, maka dapat kita simpulkan bahwa dengan menganalisa ROE kita tidak hanya dapat menentukan besarnya penghasilan yang didapat dari investasi modal yang kita lakukan. Dengan menganalisa ROE berarti kita juga dapat mengetahui lebih lanjut kualitas penghasilan yang didapatkan dari perusahaan., Sebab dengan pemecahan ROE menjadi tiga komponen (leverage, profit margin, asset manajemen) kita akan dapat menganalisa lebih jauh faktor apa yang lebih mempengaruhi kualitas penghasilan pada sebuah perusahaan.
Semoga pembahasan yang ‘sederhana’ diatas mampu mempersenjatai anda untuk memilih saham secara tepat dari segi Fundamental, dan menghindari praktek judi berkedok investasi.

EARNING QUALITY

Source : WIKIPEDIA

Earnings quality, in accounting, refers to the overall reasonableness of reported earnings.
1)It is an assessment criterion for how "repeatable, controllable and bankable"
2)a firm's earnings are, amongst other factors. It recognizes the fact that the economic impact of a given transaction will vary across firms as a function of their fundamental business characteristics,
3)and has variously been defined as the degree to which earnings reflect underlying economic effects, are better estimates of cash flows, are conservative, or are predictable.

Rationale
The concept of earnings quality has roots in the judgmental nature of accounting, which can be seen in the fact the different parties may interpret the economics underlying a transaction differently, and different firms may have different business characteristics.

Interpretation of underlying economics
The interpretation of the economics underlying a transaction and even the wording of the accounting standards can vary between firms. This, along with the fact that a firm's financial statements are the responsibility of the firm's management, allows management to structure transactions to achieve desired accounting results,[1] by choosing an interpretation of the economics underlying ther transactions that may be different from another party's. This use of judgment by management thus increases the chances that the earnings presented in a firm's financial statements may have been manipulated.


Differing business characteristics
Furthermore, the fact that firms have different fundamental business characteristics increases the possibility of error in or manipulation of presented earnings. For example, companies that operate in different industries may use a given machine for entirely different purposes or wear out a given machine at dramatically different rates, which makes it appropriate to allow management to choose between alternative depreciation methods and useful lives to be applied to the use of the machine. This discretion, however, increases the possibility for firms to make both honest mistakes, such as the accidental use of a wrong useful life, or to manipulate earnings.


Earnings quality and ways to lower it
The above factors lead to investors needing to assess the extent to which a firm's reported earnings are free from mistake or manipulation, i.e. the quality of the firm's earnings.[3]

Other ways accounting choices can lower a firm's earnings quality include[1]

Recording revenue too soon or of questionable quality,
Recording fictitious revenue,
Boosting income with one-time gains,
Shifting current expense to a different period,
Failing to record or improperly reducing liabilities,
Shifting current revenue to a later period, and
Shifting future expenses to the current period as a special charge

Assessing earnings quality
While the criteria for earnings to be considered high-quality differs between authors, sustainability of earnings may be the underlying concept.


Conservative accounting policies
Earnings quality has usually been associated with the use of conservative accounting policies. It has, however, been noted that conservatism in the current financial periods may allow aggressiveness in future financial periods.[1] For example, choosing an "accelerated" depreciation method, or one that allocates a large amount of depreciation expense at the beginning of an asset's useful life, allows the firm to present abnormally high expenses for a given financial period and abnormally low expenses for future financial periods: conservatism, followed by aggressiveness. In other words, conservative decisions by management in a single period should not be used as sole proof of earnings quality.


Other factors

An assessment of earnings quality would therefore be based on other factors, such as

A correlation between reported earnings and underlying economic activity,
The permanence and sustainability of reported earnings,
The relationship between reported earnings and market valuation,
The extent and impact of discretionary accruals,
The transparency and completeness of disclosures,
The impact of low reported earnings on corporate image,
The company's handling of "bad news,"[1] and
The degree to which earnings are good estimates of cash flows.[3



Sustainability of earnings

One author claims, simply, that earnings are considered to be of high quality when they are sustainable


Methods of assessment as conflicting
Different definitions of earnings quality, and hence the different methods of assessment, sometimes lead to contradictions between methods. For example, using only the criteria of correlation between reported earnings and underlying economic activity, accelerated depreciation may give rise to higher-quality earnings than straight-line depreciation, while the converse is true if one uses only the criteria of predictability of earnings.[3]

EARNING MANAGEMENT


by Investopedia

Before diving into what earnings management is, it is important to have a solid understanding of what we mean when we refer to earnings. Earnings are the profits of a company. Investors and analysts look to earnings to determine the attractiveness of a particular stock. Companies with poor earnings prospects will typically have lower share prices than those with good prospects. Remember that a company's ability to generate profit in the future plays a very important role in determining a stock's price. (For more on this concept, check out our Stock Basics tutorial.)

That said, earnings management is a strategy used by the management of a company to deliberately manipulate the company's earnings so that the figures match a pre-determined target. This practice is carried out for the purpose of income smoothing. Thus, rather than having years of exceptionally good or bad earnings, companies will try to keep the figures relatively stable by adding and removing cash from reserve accounts (known colloquially as "cookie jar" accounts).

Abusive earnings management is deemed by the Securities & Exchange Commission to be "a material and intentional misrepresentation of results". When income smoothing becomes excessive, the SEC may issue fines. Unfortunately, there's not much individual investors can do. Accounting laws for large corporations are extremely complex, which makes it very difficult for regular investors to pick up on accounting scandals before they happen.

Although the different methods used by managers to smooth earnings can be very complex and confusing, the important thing to remember is that the driving force behind managing earnings is to meet a pre-specified target (often an analyst's consensus on earnings). As the great investor Warren Buffett once said, "Managers that always promise to "make the numbers" will at some point be tempted to make up the numbers".

Read more: http://www.investopedia.com/ask/answers/191.asp#ixzz1djpVYadt