DULUAN APA NERACA or LABA RUGI??

Baru saja kudengar sebuah diskusi mengenai hal itu ketika secara gak sengaja menjemur cucian di sekitar rumah. Padahal kupikir mereka sudah lulus S1 akuntansi. Mengapa masih bingung.?



DEFINISI NERACA menurut Wikipedia

Di dalam akuntansi keuangan, Neraca atau laporan posisi keuangan (bahasa Inggris: balance sheet atau statement of financial position) adalah bagian dari laporan keuangan suatu entitas yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menunjukkan posisi keuangan entitas tersebut pada akhir periode tersebut. Neraca terdiri dari tiga unsur, yaitu aset, liabilitas, dan ekuitas yang dihubungkan dengan persamaan akuntansi berikut:
aset = liabilitas + ekuitas
Informasi yang dapat disajikan di neraca antara lain posisi sumber kekayaan entitas dan sumber pembiayaan untuk memperoleh kekayaan entitas tersebut dalam suatu periode akuntansi (triwulanan, caturwulanan, atau tahunan).

Pernyataan Standar akuntansi
Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia disebutkan di dalam neraca:
  • Perusahaan menyajikan aset lancar terpisah dari aset tidak lancar dan kewajiban jangka pendek terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk industri tertentu diatur dalam PSAK khusus. Aset lancar disajikan menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo.
  • Perusahaan harus mengungkapkan informasi jumlah setiap aset yang akan diterima dan kewajiban yang dibayarkan sebelum dan sesudah dua belas bulan dari tanggal neraca.
  • Apabila perusahaan menyediakan barang atau jasa dalam siklus operasi perusahaan yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka klasifikasi aset lancar dan tidak lancar serta kewajiban jangka pendek dan jangka panjang dalam neraca memberikan informasi yang bermanfaat dengan membedakan aset bersih sebagai modal kerja dengan aset yang digunakan untuk operasi jangka panjang.


DEFINISI LAPORAN RUGI LABA  menurut Wikipedia

Laporan laba rugi (Inggris:Income Statement atau Profit and Loss Statement) adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan dan beban perusahaan sehingga menghasilkan suatu laba (atau rugi) bersih.
Unsur-unsur laporan laporan laba rugi biasanya terdiri dari:
  1. Pendapatan dari penjualan
  2. Dikurangi Beban pokok penjualan
  3. Laba/rugi kotor
  4. Dikurangi Beban usaha
  5. Laba/rugi usaha
  6. Ditambah atau dikurangi Penghaslan/beban lain
  7. Laba/rugi sebelum pajak
  8. Dikurangi Beban pajak
  9. Laba/rugi bersih

Sebenarnya penjelasan di atas tidak cukup jelas bagi yang pengen tahu lebih jauh. Tapi cukuplah. Thats my note :

Pada Neraca :

  1. Mempunyai 2 (dua ) sisi pasiva dan aktiva. Sisi aktiva menggambarkan aktivitas operasional perusahaan. Mulai dari beraktivitas yang paling lancar berupa kas, sampai aktivitas yang paling tidak bisa lancar. Sisi pasiva menggambarkan sumber dana yang dipunyai perusahaan dalam usaha itu. Mulai dari dana yang di pinjami pihak lain dalam bentuk bahan mentah, yaitu hutang usaha yg bersifat lancar. Dana yg dipinjami pihak lain untuk kucuran kas sebagai pinjaman lancar (kredit modal kerja) maupun pinjaman jangka panjanguntuk berinvestasi (kredit investasi). Terakhir adalah modal yang dimiliki pemilik dalam usaha tersebut.
  2. Periode pada neraca tidak menghapus saldo sebelumnya, hanya menggambarkan perubahannya. Artinya terus menerus going concern. Perubahan neraca pada akhir periode secara bulanan ; caturwulan ; tahunan. Sesuai kepentingan. Dilakukan pada saat posting jurnal ke neraca (step pada siklus akuntansi)
  3. Merekam seluruh transaksi akuntansi

Pada Rugi Laba :
  1. Seperti di atas terlihat yang mengumpulkan penjualan dalam periode di maksud; yang mengumpulkan cost dan expense pada periode di maksud. Adalah rekening - rekening dalam rugi laba
  2. Periode pada rugi laba hanya menyajikan jumlah saldo periode yang di maksud saja. Artinya jika periode tahunan, maka Laba rugi hanya pada periode yang di sebut yang di tampilkan.
  3. Rekening - rekening pada laba rugi merekam semua catatan  transaksi keuangan

Masih ingatkan beda transaksi keuangan dan transaksi akuntansi? 
masih ingatkan bagaimana siklus akuntansi?

Dari penjelasan di atas, untuk pertanyaan, 'duluan mana neraca dan  rugi laba' , apakah sudah mampu menjawab.


PENCUCIAN UANG

Apa sih pencucian uang itu ??


Menurut Wikipedia, 

PENGERTIAN

Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



METODE
Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui 3 (tiga) langkah tahapan: 
1). langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement); 
2) langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap pelapisan/layering); 
3) langkah ketiga (final) merupakan tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (tahap integrasi)


HUKUM PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

Pertama
Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.





Sebenarnya di sini sudah cukup jelas dari mana asal uang itu adalah hasil pidana. Uang hasil pidana seperti dalam kategori dalam UU pencucian uang yaitu :

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: 
a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.


Artinya undang - undang tadi yang meliputi kepentingan masyarakat banyak ; kepentingan negara atau kepentingan perseorangan yang terlanggar hak azasi manusianya nya.



Seandainya aktivitas 'pencucian uang' terjadi pada kepentingan organisasi kecil ; perusahaan dan sebagainya, mungkin yang melindungi hanya jika organisasi tersebut memiliki kebijakan kode etik yang berlaku bagi karyawan dan rekanan. Hukumnya pun hanya sebatas putus hubungan dengan organiasasi. Walau begitu hal ini sudah cukup menakutkan bagi karyawan dan rekanan. Kok bisa ya.....



METODE DETEKSI MANAJEMEN LABA

and modifikasi


Manajemen laba biasanya diteliti dengan cara peneliti membentuk hipotesis dimana manajemen laba kemungkinan bisa muncul dan menguji kemungkinan tersebut dengan metode yang tepat. Berdasarkan riset-riset yang telah dilakukan, manajemen laba bisa dideteksi dengan empat metode sebagai berikut:

Pilihan metode akuntansi dan timing
Pilihan atas metoda akuntansi disini diinterpretasikan secara luas, termasuk pilihan atas metoda akuntansi tertentu, seperti pilihan atas kapitalisasi untuk aset intangible atau tidak. Juga bagaimana mengaplikasikan metode tersebut. Timing juga memiliki dua dimensi,yaitu:
  • manajer memiliki diskresi terhadap waktu ketika sebuah peristiwa ditunjukkan dalam akuntansi. Contoh ketika ada piutang tidak tertagih atau penghapusan aset.
  • Timing transaksi yang mempengaruhi laba yang dilaporkan. Contohnya pada akhir tahun finansial, proyek R&D ;  biaya advertensi diakui sehingga biaya tersebut mempengaruhi laba pada periode berikutnya.

Pilihan metoda akuntansi pada riset yang telah dilakukan untuk menguji apakah perusahaan menggunakan income increasing atau income decreasing, penilaian sediaan dan pilihan metoda depresiasi, serta kapitalisasi atau expense terkait dengan intangible aset dan bunga (Watts dan Zimmerman, 1986, Fields et.a.2001). Studi ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang mengkapitalisasi R&D akan terleverage lebih tinggi, biasanya perusahaan skalanya kecil, dengan tingkat laba yang rendah serta dekat pada restriksi dividen daripada perusahaan yang memilih untuk menggunkaan expense (Raley, Vigeland, 1993 dan Abbody dan Lev, 1998). Hal ini mendukung bahwa perusahaan memilih kapitalisasi dengan tujuan untuk kelihatan lebih kuat pada aspek finansial dan peningkatan pembayaran dividen. Teoh et.al (1998c) membandingkan pilihan metode depresiasi pada IPO yang dicocokkan dengan kelompok non IPO. Analisis menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan IPO yang memilih metode akuntansi mengaplikasikan metoda depresiasi yang lebih meningkatkan laba dari pada yang digunakan perusahaan yang non IPO.

Teoh et.al. (1998c) juga menguji  dimensi timing dari trasaksi akuntansi ketika diuji untuk  penghapusan hutang yang bermasalah dalam perusahaan saat melakukan IPO. Mereka menemukan bukti bahwa perusahaan IPO rata-rata menghapuskan hutang bermasalah lebih sedikit daripada setelah IPO. Penelitian Beaty et.al (2002) menunjukkan bahwa bank publik cenderung untuk merealisasi keuntungan sekuritas lebih tinggi dan kerugian sekuritas yang lebih rendah untuk mentransfomasi penurunana yang lebih kecil untuk melaporkan peningkatan laba.

Bentuk lain dari kecenderungan timing adalah penyesuaian keputusan investasi untuk mencapai tujuan laba jangka pendek. Dechow dan Sloan (1991) mengunjukkan bahwa CEO menurunkan biaya R&D memiliki tujuan untuk meningkatkan kinerja laba jangka pendek. Pengeluaran R&D digunakan untuk mencapai laba positif dan meningkatkan laba yang dilaporkan (Baber et.a.1991), menghindari penurunan laba (Bushee, 1998) atau meratakan laba (Mande dan File, 2000).

Pengujian hanya pada satu metode akuntansi tertentu atau pilihan timing pada satu waktu tertentu hanya akan memberikan gambaran yang terbatas akan manajemen laba. Untuk memperluas penelitian-penelitian ini kemudian dilakukan penelitian atas portofolio dari pilihan akuntansi yang berbeda untuk lebih menguatkan apakah sebuah perusahaan atau peristiwa terkait dengan pelaporan kenaikan atau penurunan laba. Strategi yang mungkin untuk melakukan hal ini adalah membagi tiap pilihan akuntansi dalam alternatif income increasing atau income decreasing dan mengujinya secara terpisah pada peusahaan (Christie dan Zimmerman, 1994). Alternatif lain adalah melalui portofolio pilihan untuk tiap perusahaan dan pengukuran pada bagaimana konservatisme kebijakan perusahaaan (Zmijewski dan Hagerman, 1981).

Akrual Diskresioner
Manajemen laba bisa juga diproksikan dengan akrual diskesioner. Namun akrual diskresioner ini tidak bisa diobservasi langsung dari laporan keuangan, maka hasus diestimasi melalui beberap model. Model tersebut membentuk ekspektasi pada level akrual non diskresioner dan jumlah deviasi yang diobservasi secara aktual, hal ini diasumsikan sebagai akrual nondiskresioner.Sehingga akrual diskresioner didefinisikan sebagai akrual melalui model yang digunakan. Apakah ini proksi yang bagus dan tepat atau tidak untuk manajemen laba atau tidak akan bergantung pada kemampuan model untuk dengan benar memprediksi bagaimana perubahan dan kondisi bisnis mempengaruhi akrual.

Banyak dari model estimasi akrual nondiskresioner perusahaan  dari level akrual masa lalu perusahaan sebelum periode ketika tidak terdapat manajemen laba yang sistematik (Jones, 1991). Alternaif lain adalah dengan menggunakan pendekatan cross sectional dimana level akrual normal perusahaan dalam suatu periode dibandingkan dengan akrual perusahaan pembanding pada perioda yang sama (Defond dan Jiambavlo, 1992). Penelitian dengan pendekatan, baik time series ataupun cross-sectional menghadapi maslah adanya akrual yang terjadi akan bervariasi sesuai dengan perubahan kondisi bisnis. Model akrual terkait dengan manajemen laba, diharapkan mampu mereduksi efek ii dengan mengendalikan perubahan kondisi bisnis dengan parameter yang diharapkan menyesuaikan akrual yang diekspektasikan terhadap perubahan kondisi.

Evolusi Perubahan Model Akrual

Healy (1985) menguji dalam hipotesisnya pada perilaku manajemen laba dengan menyusun observasi pada sampelnya dalam kelompok berdasarkan perilaku manajemen laba yang dihipotesiskan. Kebenaran dari hipotesis ini kemudian diuji dengan pair wise comparison dari mean total akrual (di skala dengan lagged aset total) between group dimana perilaku manajemen diasumsikan. Hal ini menghasilkan model manajemen laba sebagai berikut:

DAC it = (TA it / S it) - (TA it-1 / Sit-1)

DACi,t merupakan akrual diskresioner untuk perusahaan i pada periode t.

TAi,t dan Ai,t-1 merupakan total akrual dan total aset untuk periode t dan t-1 untuk perusahaan 1.

Healy (1985) membandingkan hasil dari persamaan diatas between grout observasian untuk menarik kesimpulan tentang level manajemen laba dalam satu grup.

(II)              De Angelo (1986)

De Angelo mengestimasi level akrual perusahaan dari periode sebelum dan kemudian dipandang sebagai versi time series (Dechow et al 1995) dengan model sebagai berikut:



(III)            Modified De Angelo Model oleh Friedlan (1994)

Friedlan (1994) menyatakan restriksi bahwa akrual nondiskresi stasioner antara kondisi bisnis yang berbeda. Friedlan mengasumsikan akrual nondiskresioner adalah proporsional pada aktivitas operasi yang diukur dengan sales (S). Manfaat utama dari model ini adalah tidak membutuhkan persyaratan akan ketersediaan data yang tinggi dibandingkan dengan model simpel (1) yang membiarkan level akrual diskresioner berfluktuasi antar periode yang berubah sesuai kondisi.



(IV)           Jones (1991)

Model yang dikemukakan oleh Jones (1991) merupakan model yang paling populer. Akrual non diskresioner diestimasi dengan regresi OLS dengan perubahan pada sales, level properti plant dan equipment sebagai variabel eksplanatori. Jones mengestimasi parameter regresi menggunakan data yang bervariasi antara 14 dan 32 tahun per perusahaan dan memperoleh model berikut:



 merupakan perubahan penjualan dari periode t-1 sampai t untuk perusahaan i. PPEi,t merupakan property, plant dan equipment.

merupakan error untuk perusahaan i pada tahun t. Parameter estimasi kemudian dikombinasikan dengan data dari periode pengujian untuk menghasilkan akrual diskresioner sebagai berikut:



Classification Shifting
Masalah penelitan dalam artikel ini adalah pengklasifikasian item dalam laporan keuangan yang digunakan sebagai alat manajemen laba. Penggeseran klasifikasi oleh manajemen merupakan salah satu alat manajemen laba. Penggeseran klasifikasi yang dimaksud adalah dengan menggeser expences dari core expences. Pergerakan vertikal terhadap expences inti tidak merubah laba akhir, tetapi menyebabkan core earnings yang terlalu tinggi (overstated).

Penelitian manajemen laba dengan metode ini fokus pada alokasi expences antara core expences (HPP dan penjualan, beban umum dan administratif) dan item spesial. Peneliti memposisikan bahwa manajer yang ingin mengelola core earnigns naik akan menggeser beban yang harus diklasifikasikan sebagai core expences ke item spesial.

Metodologi untuk mengukur classification shifting dilakukan dengan memperkirakan bahwa core earnings dari item spesial perusahaan akan overstated pada tahun dimana item spesial tersebut diakui.

Model digunakan untuk memprediksi bahwa level core earnings dan antisipasi dari unexpected core earnings (core earnings yang dilaporkan dikurangi dengan core earnings yang diprediksi) pada tahun t akan meningkat dengan item spesial pada tahun t apabila manajer menggunakan classification shifting.

Penelitian Mc. Vay (2006) memodelkan perubahan dalam core earnings. Penelitian memprediksi bahwa unexpected change dalam core earnings dari t ke t-1 akan menurun dalam item spesial pada tahun t. Model tersebut memperkirakan perusahaan dengan penggeseran klasifikasi akan memiliki baik:

(1)   level core earnings yang lebih tinggi daripada yang diekspektasikan pada tahun t

(2)   memiliki perubahan core earings yang lebih rendah daripada perubahan core earnings yang diekspektasikan.

Mc. Vay (2006) melakukan penelitian dan menemukan ada kecenderungan manajemen menggunakan classification shifting sebagai alat untuk mengelola laba dengan tujuan untuk memenuhi peramalan analis terhadap laba, sebagaimana item special cenderung untuk dikeluarkan dari definisi earnings dan pro forma analis.



Manipulasi aktivitas real
Manipulasi aktivitas real merupakan praktik yang terpisah dari praktik operasi normal yang dimotivasi oleh keinginan manajer untuk  menyesatkan pemegang saham dalam kepercayaan tertentu bahwa tujuan laporan keuangan telah dipenuhi dalam operasi normal. Pemisahan ini belum tentu memberikan konstribusi pada nilai perusahaan, walaupun mereka walaupun mereka memampukan manajer untuk memenuhi tujuan yang dilaporkan. Metode manipulasi aktivitas real tertentu seperti diskon harga dan reduksi dari discretionary ecpenditure memungkinkan tindakan optimal dalam kondisi ekonomi tertentu. Apabila manajer melakukan tindakan ini lebih ekstensif daripada normal yang ada dalam kondisi ekonomik dengan tujuan untuk memenuhi target laba, mereka melakukan dalam manipulasi aktivitas real berdasarkan definisi yang dilakukan.

Pengelolaan laba dengan memanipulasi akrual dengan tidak memiliki konsekuensi langsung terhadap aliran kas langsung yang disebut dengan manipulasi akrual (Roychowdhury,2006). Manajer juga memiliki insentif untuk memanipulasi aktivitas real sepanjang tahun untuk memenuhi target laba tertentu.

Manipulasi aktivitas real mempengaruhi aliran kas dan dalam beberapa kasus akrual. Banyak dari riset terkini manajemen laba yang fokus pada deteksi abnormal akrual. Penelitian (Roychowdhury,2006) yang secara langsung menguji manajemen laba melalui aktivitas real dikonsentrasikan pada aktivitas investasi.

Manajemen memanipulasi aktivitas real untuk menghindari kerugian pada laporan keuangan tahunan. Secara spesifik, peneliti menemukan bukti yang mendukung bahwa diskon harga terhadap pengingkatan penjualan secara temporer, atas produksi untuk melaporkan HPP yang lebih rendah dan reduksi dari discretionary expenditures untuk meningkatkan margin yagn dilaporkan.

Analisis cross sectional mengungkap aktifitas ini kurang umum dengan adanya investor yang canggih. Faktor lain yang mempengaruhi manipulasi aktivitas real melibatkan keanggotaan industri, stock dari sediaan dan piutang dan insentif untuk memenuhi laba nol. Meskipun kurang kokoh, bukti dari manipulasi aktivitas real untuk memenuhi forecast tahunan analis.







Abusive Earnings Management and Early Warning Signs


By Lorraine Magrath and Leonard G. Weld


Fraudulent Accounting Leads to Staggering Losses
Over the last three years, SEC investigations have uncovered earnings management practices that have pushed the boundaries of GAAP, even to the point of out-right fraud. In some instances, independent auditors were blamed for not catching or correcting accounting irregularities. In others, it is clear that management intended to deceive outside auditors and audit committees. Regardless of fault, when earnings management and fraudulent accounting schemes are uncovered, the monetary losses can be staggering.

Enron’s stock fell from its high of $90.75 to $0.68 after the SEC began investigating Enron’s accounting practices. After the collapse in the market value of its stock, Enron was forced to seek bankruptcy protection, resulting in the largest bankruptcy in U.S. history. A recent Financial Executives International (FEI) report indicates that the stock market lost more than $34 billion during the three-day period during which the three most egregious cases of abusive earnings management in 2000 (Lucent Technologies, Cendant, and MicroStrategy) surfaced.

While SEC documents indicate that the accounting irregularities at Lucent, Cendant, and MicroStrategy were primarily “abusive” earnings management schemes or outright fraud, all three companies began their abusive and fraudulent practices by engaging in earnings management schemes designed primarily to “smooth” earnings to meet internally or externally imposed earnings forecasts and analysts’ expectations. Earnings management practices can be designed either to assist managers in fulfilling their obligations to stakeholders or to deceive investors. The SEC’s concept of “abusive” earnings management suggests analytical approaches to uncovering such practices. In addition, the accounting profession has taken steps to educate accountants about earnings management practices and their effects and consequences. (See the Sidebar for further readings on abusive earnings management.)

Good Business Practice or “Abusive” Earnings Management?
In his 1998 “Numbers Game” speech, former SEC Chairman Arthur Levitt expressed his concern that too many corporate managers, auditors, and analysts let the desire to meet earnings expectations override good business practices. He called for a fundamental cultural change on the part of corporate management and the entire financial community.

The need to precisely define “earnings management” arises because the SEC and accounting profession acknowledge that some earnings management techniques are not fraudulent. Many accountants, analysts, and investors believe that good business practice requires managers to manage earnings. For example, in an article on the reaction to Chairman Levitt’s remarks, The CPA Journal (1999) noted that Chairman Levitt “attacked the earnings management and income smoothing practices of some public companies” and noted that some questioned “this all-out attack on what many financial managers think is a proper and conservative tempering of operating results.”

Companies have long used earnings management techniques to “smooth” earnings, a process that is typically rewarded in the stock market. For example, a 1994 Wall Street Journal article detailed the many ways in which General Electric smoothed earnings, including the careful timing of capital gains and the use of restructuring charges and reserves. In response to the article, General Electric reportedly received calls from other corporations questioning why such common practices were “front-page” news.

Managers engage in income smoothing activities because they know that volatile earnings streams typically lead to lower market valuations. Many successful management teams believe that the strategic timing of investments, sales, expenditures, and financing decisions is an important and necessary strategy for managers committed to maximizing shareholder value.

Levitt’s speech indicated that the SEC would target companies that engaged in “practices that appear to manage earnings,” without clearly distinguishing between earnings managed in the ordinary course of business and earnings fraudulently managed in a deliberate attempt to deceive the financial community. 

Chairman Levitt did, however, identify five popular examples of “accounting hocus pocus” that could be used to create illusionary earnings:
big bath restructuring charges
creative acquisition accounting
cookie jar reserves
immaterial misapplications of accounting principles
the premature recognition of revenue.

Because these forms of earnings management typically require premeditated use of sophisticated accounting techniques, the examples apparently preclude good business practices arising in the normal course of business from being “illusionary earnings” or abusive earnings management. In subsequent speeches, SEC Chief Accountant Lynn Turner clarified the issue “by indicating that misapplication of GAAP and stretching the rules to achieve desired targets are fraudulent accounting practices that would be targeted by the SEC.” In its 1999 annual report, the SEC offered further clarification when it indicated that its enforcement division focused on abusive earnings management practices which involved “the use of various forms of gimmickry to distort a company’s true financial performance in order to achieve a desired result.” In several actions brought against companies since the 1998 speech, SEC documents refer directly to managers’ attempts to meet analysts’ expectations.

Meeting Analysts’ Expectations
In general, analysts’ expectations and company predictions tend to address two high-profile components of financial performance: revenue and earnings from operations. The pressure to meet revenue expectations is particularly intense and may be the primary catalyst in leading managers to engage in earnings management practices that result in questionable or fraudulent revenue recognition practices. One FEI study indicates that improper revenue recognition practices were the cause of one-third of all voluntary or forced restatements of income filed with the SEC from 1977 to 2000. The Lucent, Cendant, and MicroStrategy restatements mentioned earlier were due primarily to improper recognition of revenues.

In one case investigated by the SEC, high-level managers shipped fruit baskets to friends and associates, and used the shipping documents to provide audit evidence to support fictitious sales (AAER 1311, 09/16/2000). Because such activities tend to involve high-level employees intent on deception, auditors frequently find such fraudulent activities difficult to uncover.

Other top managers engaging in improper revenue recognition practices may do so with the full cooperation of employees that may not understand the impropriety of their actions. For example, an SEC investigation revealed that premature revenue recognition practices were such an integral part of operations at one manufacturing company that MIS personnel wrote a program to automatically freeze the computer date while the quarter was held open. In another case, one manufacturer obtained audit evidence for sales recognized prematurely by shipping legitimate orders to its own warehouses and holding the products until customer-requested shipping dates in later periods. In many cases, managers attempt to meet quarterly expectations by prematurely or improperly recognizing revenue for sales that do not meet criteria for recognition under GAAP but would be legitimately recognized in future periods. Such premature revenue recognition can go unnoticed if company managers do not consistently engage in such practices or if the company continues to grow.

Nonetheless, because revenue expectations for future quarters are based primarily on revenues recognized in current quarters, analysts’ expectations for the quarters following those in which revenue was prematurely or improperly recognized are typically inflated. The magnitude of the inflated expectations is usually compounded by the addition of “growth” factors, rendering the new quarterly expectations difficult or impossible to achieve without further manipulations or fraudulent accounting activities. The seemingly common consequence of improper revenue recognition practices is that, once started, companies must continue earnings management activities in order to meet ever-increasing internal sales targets and analysts’ expectations. Frequently, the earnings manipulations or fraudulent activities involving revenue generate the need for more complex and sophisticated accounting techniques to ensure analysts’ earnings expectations are met. Eventually, companies must engage in more blatant fraudulent activities by creating artificial reserves, understating reserve liabilities, using creative acquisition accounting practices, or otherwise manipulating GAAP to perpetuate myths involving company “growth.”

Detecting Earnings Management
Fraudulent accounting practices involving restructuring charges, reserves, creative acquisition accounting, and manipulation of GAAP are very difficult for outsiders to detect. Insiders responsible for earnings management are intent on hiding such activities, particularly when the earnings management practices escalate beyond improper revenue recognition. As the charges in several SEC investigations indicate, when managers engage in abusive earnings management practices they must lie to auditors, analysts, investors, and their own coworkers to cover these fraudulent activities.
SEC documents indicate that, in many cases, once the abusive earnings management practices become firmly entrenched at a company, high-level managers spend a great deal of time devising methods to ensure that the abusive practices continue. Because outsiders cannot observe management’s day-to-day activities, investors and auditors should look carefully for warning signs that abusive earnings management is present:
Cash flows that are not correlated with earnings
Receivables that are not correlated with revenues
Allowances for uncollectible accounts that are not correlated with receivables
Reserves that are not correlated with balance sheet items
Questionable acquisition reserves
Earnings that consistently and precisely meet analysts’ expectations.

Cash flows. One of the most obvious warning signs that companies are engaging in improper revenue recognition is a lack of correlation between cash flow from operations and earnings. If revenue is properly recognized, cash flows should closely follow revenue recognition; that is, the business cycle will be completed and cash will be available for reinvestment when customers discharge their obligations in a timely manner. Cash flow lagging significantly behind revenues could be a sign that companies are inflating revenues by recognizing sales in inappropriate periods, making sales to non-creditworthy customers, or recording fictitious sales.

Receivables. Investors should also compare receivables and cash flow from operations with revenues and earnings. Receivables rising more quickly than revenues could be a sign that customers are experiencing financial distress. It could also be a sign that a company is engaging in abusive earnings management by recording fictitious sales or otherwise inflating revenues and accounts receivable. For example, a June 2000 Wall Street Journal article suggested that Lucent Technologies might be engaging in creative accounting practices, noting that Lucent’s receivables were rising at 49% while revenues were rising at only 20%.

Allowance for uncollectible accounts. Analyzing reserves for uncollectible accounts could also provide clues of abusive earnings management. Receivables growth not also reflected in the allowance could be a sign that managers are aware that revenues were recorded prematurely. It could also be a sign that managers have deliberately understated their reserves for uncollectible accounts or recorded fictitious revenues. Both Lucent and Cendant decreased their reserves for uncollectible accounts at times when revenues and receivables were rising.

Other reserves. Using reserves to appropriately match earnings with associated costs is a fundamental accrual accounting concept. GAAP requires that reserves be established for uncollectible accounts, warranties and guarantees, future commissions, and a host of other legitimate business purposes. These reserves are designed to ensure proper matching of revenues (or gains) and related costs. GAAP also allows, under stringent criteria, the establishment of restructuring reserves to reflect the beneficial effect of the restructuring on income in future periods. Reserves are established before circumstances requiring their use are known with certainty and, therefore, require informed judgments. High-level managers, who are in the best position to understand their customers, company, and industry, frequently control the terms and conditions by which reserve accounts are changed. Investors should carefully scrutinize all disclosure notes and other discussion materials related to reserves to determine if changes in reserve accounts are consistent with good business practices. For example, Cendant manipulated its cancellation and commission reserves downward at a time when revenues were increasing. Lucent manipulated its pension reserves and significantly inflated earnings by changing its accounting policies. Both companies manipulated or overstated acquisition and purchase reserves.

Acquisition reserves. Investors and auditors should carefully review the circumstances surrounding acquisitions. Escalating abusive earnings management practices often provide incentives for companies to seek business combinations that can be used to strengthen their “cookie jar.” If there is no apparent business purpose for a business combination, investors and auditors should carefully analyze the transaction. If restructuring charges or reserves set aside for disposals are created, investors and auditors should question the legitimacy of the business combination or acquisition. For example, SEC documents indicate that Cendant management intentionally overstated merger and purchase reserves, which were subsequently reversed directly into operating expenses and revenues.

Consistent earnings. Finally, investors and auditors should carefully examine the accounting practices of companies that consistently and precisely meet analysts’ expectations, particularly growth expectations. Analysts’ expectations are based in part on information obtained from company management; therefore, companies strive to meet analysts’ expectations to protect their reputations as well as the market value of their stock. Although many companies employ legitimate means to meet or exceed analysts’ expectations, other companies may engage in abusive earnings management practices to cover failures resulting from overly optimistic predictions, economic downturns, or business setbacks. For example, Cendant manipulated its financial reports to ensure that revenues and expenses were consistently reported at approximately the same percentages each quarter. While all businesses strive for smooth earnings, consistencies such as those reported by Cendant should trigger closer analysis of financial reports.

Professional Guidance
Since the SEC identified abusive earnings management as a primary target of its enforcement actions, the accounting profession and SEC have taken steps to improve the quality of financial reporting. The SEC has issued Staff Accounting Bulletins that 1) discuss the appropriateness and application of materiality in financial reporting, 2) discuss the appropriateness of and disclosure for acquisition-related reserves, and 3) reiterate existing GAAP with respect to revenue recognition. The accounting profession has participated in the discussion over how auditors, audits, and audit committees can be more effective in uncovering abusive earnings management practices.

The efforts of the SEC and the accounting profession are focused on informing auditors and accountants of existing GAAP and auditing procedures, not creating new accounting or auditing standards. Accounting irregularities, earnings management, and fraud occur when managers and accountants attempt to manipulate GAAP and obfuscate financial reports. Additional accounting regulations and standards may not be the solution to ending abusive earnings management and fraudulent accounting practices. Instead, auditors and investors should be vigilant in their attempts to uncover earnings management abuses and fraudulent accounting schemes by understanding the difference between good management and deceptive business practices