JEPANG versus KOREA_ 2

MANAGEMENT STRATEGI : 
Perang Pena mengenai declining beberapa industri Jepang_ Sony - Panasonic - Sharp - Sanyo - Tosiba versus rising bebrapa industri Korea_ LG - Samsung.

Sanggahannya,
Summary di bawah ini adalah
1) Kurangnya SDM pada angkatan kerja Jepang menimbulkan high cost pemeliharaan SDM dan kurangnya kemampuan regenerasi.
2)  Yendaka, nilai tukar uang Yen yang tinggi menyebabkan high cost untuk expor
3)   Harmony culture Error atau kesepakatan (hasil tidak salah
4)   Senioritas yang bagaimana yang d sanggah

Link Blog Di Sini :
http://www.yosibara.com/Rubrik-Indonesia/the-death-of-samurai-bag-1.html


Inti dari tulisan Bung Yodhia tersebut adalah, adanya pengumuman kerugian sampai trilyunan rupiah yang dialami oleh perusahaan elektronik Jepang, yaitu Sony, Panasonic dan Sharp, dan gambaran tentang limbungnya perusahaan perusahaan elektronik Jepang tersebut.
Lalu, Bung Yodhia mengemukakan ada 3 faktor yang membuat perusahaan elektronik Jepang tersebut ambruk, yaitu:
1. Harmony Culture Error
Bung Yodhia menyalahkan soal harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, akan tetapi didalam bahasannya, sebenarnya yang dipertanyakan adalah soal speed, atau dalam bahasa manajemen produksi umumnya dikenal sebagai LED TIME. Bung Yodhia menganggap bahwa proses product development di Jepang sangat lamban karena harus melalui kesepakatan
2. Seniority Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim promosi karyawan berdasarkan seniority atau urut kacang. Hal ini oleh Bung Yodhia dianggap sebagai penghambat product development.
3. Old Nation Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim manajemen Jepang yang seakan akan mempertahankan pekerja tua, dan menghambat professional muda untuk berkiprah di level atas perusahaan.
Apakah semuanya itu benar? Ijinkan saya mengulas satu persatu.
Mengenai trend ambruknya industri elektronik Jepang, atau bahkan mungkin akan menimpa seluruh perusahaan manufaktur Jepang.
Pada tahun 1991, saya sendiri sudah mulai melihat suatu gejala yang mungkin akan terjadi di Jepang, ketika saya melakukan pengamatan terhadap maraknya tenaga illegal di Jepang, yang berdatangan dari berbagai Negara, seperti Brazil, Peru, Iran, dan dari Italia juga ada saya temukan, kemudian Iran, India, Bangladesh, kemudian dari Asean termasuk Indonesia, yang secara illegal bekerja pada perusahaan perusahaan di Jepang. Di taman Ueno – Tokyo saja, saya menemukan lebih dari 3.000 orang tenaga kerja Indonesia yang bekerja secara illegal di Jepang.
Keadaan ini terjadi karena Jepang sudah mulai kekurangan tenaga kerja muda Jepang yang mau bekerja di pabrik. Generasi muda Jepang sudah mulai ogah bekerja bekerja di Pabrik, terutama pada panrik yang proses pekerjaannya mengandung unsur 3-K, yaitu Kitanai, Kiken, dan Kitsui.
Pada tahun 1993, saya mendapat penjelasan dari seseorang teman orang Jeoang di NIKKEIREN (semacam APINDO di Indonesia) bahwa NIKKEIREN terpaksa menganjurkan dunia usaha Jepang untuk mempekerjakan kembali para pensiunan mereka.
Pada tahun 1993 itu pula, ketika saya ngobrol dengan pemilik Guest House tempat saya menginap, saya sudah mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun kedepannya, ekonomi China akan menyalip ekonomi Jepang.
Ada 3 faktor pertimbangan saya mengemukakan hal tersebut, yaitu:
1. Jepang semakin kekurangan tenaga kerja.
2. Yendaka. Nilau tukar yen yang semakin tinggi, membuat harga barang ekspor mereka kalah bersaing harga di pasar internasional.
3. Gerakan ekonomi yang dinamis di China. Sedangkan Korea Selaran pada waktu itu masih “adem ayem” berupaya menguntit jejak Jepang.
Maka, berdasarkan apa yang saya saksikan sendiri, bukan hanya berdasarkan berita atau literatiur, ada 2 faktor dominan yang menekan dan membuat industri manufaktur Jepang menjadi limbung, yaitu:
A. Yendaka.
Pada satu sisi, kenaikan nilai tukar (kurs) yen menjadi kenikmatan yang tidak terduga bagi orang Jepang yang melakukan perjalanan atau bertugas di luar negeri Jepang.
Bayangkan, hanya dengan seharga 1 botol bir di night club Jepang, yaitu 10.000 yen, kalau mereka ke luar negeri, misalkan ke Indonesia dan dikurskan ke rupiah, cukup buat mereka untuk berleha leha sampai dini hari di Little Tokyo – Blok M – Jakarta, dengan didampingi oleh nona nona muda.
Itu pula sebabnya, para siswa SLTA Jepang, apabila pada libur musim panas mereka menyempatkan diri bekerja satu bulan dengan upah 120.000 yen, cukup longgar buat mereka untuk melakukan wisata ke luar negeri. Ke Bali, Singapore atau Hawai, hanya 60.000 yen  untuk perjalan 4 hari termasuk tiket pesawat dan hotel.
Ke AS, Kanada atau Eropah hanya 80.000 yen – 100.000 yen untuk perjalanan 4 hari – 6 hari.
Akan tetapi pada sisi lain, yendaka telah menindih dan menekan volume penjualan mereka di pasar internasional. Pada tahun 1993 saja, keluhan dunia usaha Jepang sudah memuncak, dan meminta pemerintah Jepang untuk melakukan sesuatu agar nilai yen tidak menembus dibawah 100 yen per 1 US dolar.
Beberapa tahun kemudian, nilau tukar yen sempat menurun, berkisar 120 yen per US dollar,  dan membuat dunia industri Jepang sedikit bernafas.
Akan tetapi sejak Obama naik panggung dan melakukan proteksi, nilai tukar yen kembali merangkak naik, dan dunia usaha Jepang menuding AS bermain tidak fair,
Hal inilah yang menggerus pangsa pasar produk Jepang di luar negeri, harga yang mahal. Bukan karena kualitas atau kecanggihan barang
Sebagai referensi dari analisa saya ini, dapat disimak Laporan Ekonomi Perdagangan Jepang,   pada tautan berikut http://financeroll.co.id/news/22254/berita-forex-perekonomian-jepang-kontraksi
Kalau Bung Yodhia mengatakan bahwa TOSHIBA akan menutup produksi notebooknya karena kalah kualitas, mari kita jujur melihat pasar notebook di Indonesia saja. Konsumen Indonesia masih sangat menggemari mereka TOSHIBA, akan tetapi banyak yang urung membeli karena masalah harga yang lebih mahal.
Eh!...tapi…. notebook buatan Korea ada nggak ya?
Mari bandingkan pada produk sepeda motor. Buatan Korea merek KYMCO ya? Ada nggak sih di jalanan?
Bandingkan pula pada automotive. Setelah mengeluarkan Lexus, Toyota sudah lama mengeluarkan mobil hybrid yang laris manis di AS, lalu automotive Korea sudah pada level mana? Mungkin Bung Yodhia bisa member gambaran, berapa besar pangsa pasar Daewoo dan Hyundai di AS. Karena di Indonesia kita semua sudah tahu.
B. Pertumbuhan penduduk yang negative serta perubahan perilaku pada generasi muda Jepang, menyebabkan dunia industri Jepang sulit mendapatkan tenaga kerja baru.
Faktor kedua dan memang merupakan hal yang paling dominan menjadi hambatan atau menjadi penyebab ambruknya industri di Jepang adalah masalah supply tenaga kerja, akibat pertumbuhan penduduk di Jepang yang terus menurun (negatif).
Sejak masa pertumbuhan ekonomi Jepang pada tahun 1960-1970-an, masyarakat Jepang sudah berKB, rata rata di setiap rumah, anak hanya 2 orang.
Memasuki era 80-an, seiring dengan bangkitnya ekonomi Jepang, yang membuka peluang lebih besar bagi kaum wanita menjadi wanita karir, membuat semakin banyak wanita Jepang yang ogah menikah dan melahirkan. Bahkan pada saat menikah pun, mulai ada tuntutan dari kaum wanita, tidak akan membuat anak, alias hidup untuk diri sendiri.
Satu hal yang lebih menarik bagi saya akhir akhir ini adalah, mulai muncul keluhan orang tua terhadap anak, yang karena kesibukannya dalam karir, sampai "mengabaikan" orang tua. 
Akibatnya sekarang ini ada semacam justifikasi di dalam masyarakat Jepang, buat apa melahirkan anak bila hanya menjadi "anak murtad" yang tidak perduli orang tua?
Situasi ini seakan akan melegalkan pendapat agar tidak membuat anak lagi di Jepang.
Yang lebih menarik lagi, menurut informasi yang saya rangkai dari berbagai sumber, sepertinya mulai ada pemikiran atau pertimbangan bagi pemerintah Jepang, untuk memberikan insentif bagi generasi muda yang mau menikah dan melahirkan anak.
Sebagaimana saya sebut diatas, sejak tahun 80-an itu pula, seiring dengan bangkitnya ekonomi Jepang, industri Jepang sudah mulai terseok seok karena kurangnya tenaga kerja di Jepang, Generasi muda Jepang mulai ogah bekerja pada perusahaan manufaktur yang proses pekerjaannya mengandung 3-K, yaitu Kitanai, Kikekn dan Kitsui. Akibatnya, industri industri yang proses pekerjaannya mengandung 3-K tersebut, mulai limbung dan bahkan mulai ada yang bergelimpangan.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan bantuan pemerintah Jepang, mengundang anak anak muda keturunan Jepang dari Brazil dan Peru. Hal ini karena undang undang keimigrasian Jepang mengijinkan hal tersebut.  Dari Indonesia pun, bila ada hubungan darah dengan orang Jepang, dapat memperoleh visa masuk Jepang dan bekerja disana.
Ternyata hal itu pun tidak cukup, mereka mulai menampung bahkan tenaga tenaga ilegal dari Asia Tenggara, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Philippina dan Indonesia sendiri. 
Namun pada akhirnya, penggunaan tenaga tenaga ilegal dari berbagai Negara mulai dibatasi, karena masalah masalah kriminal yang ditimbulkan oleh tenaga ilegal tersebut.
Dengan gambaran tersebut kita dapat memahami, bahwa masalah yang paling krusial yang dihadapi oleh dunia industri atau dunia HR Management di Jepang adalah kurangnya tenaga kerja domestic, dan inilah yang menjadi faktor dominan yang membuat limbungnya industri Jepang.
Dan saya menduga duga, mungkin gejala inilah yang menginspirasi Dave Ulrich dalam pemikirannya yang terakhir, The Future HR, yang pada prinsipnya mengingatkan masalah pertumbuhan penduduk dalam perencanaan HR.
Sebagai gambaran, pada akhir tahun 1997, dalam satu rangkaian training, saya pernah diajak meninjau 3 lokasi pabrik yang cukup luas dengan puluhan bangunan yang besar besar. Begitu kami masuk ke dalam bangunan pabrik, yang ada hanyalah mesin mesin yang ditutupi plastik, tidak beroperasi dan tidak ada manusia. Saya lalu bertanya "mengapa begini?" Jawabannya adalah "tidak ada lagi orang Jepang yang mau kerja di pabrik seperti ini" Generasi muda Jepang sudah beranggapan bahwa hanya orang orang bodohlah yang mau bekerja di pabrik electronik.
Walau pun Jepang sudah melakukan relokasi pabrik mereka ke luar Jepang, seperti ke Indonesia, Malaysia, Vietnam dan lain lain, namun, mereka tetap saja kesulitan untuk mendapatkan tenaga teknisi muda untuk ditempatkan di Bagian R&D, untuk melakukan proses product development.
Hal ini karena generasi muda Jepang, khususnya yang berlatar belakang IT, lebih memilih membuka usaha sendiri daripada bekerja pada perusahaan. Hal ini dapat kita lihat dari berkembangna industri kreatif di Jepang. Semua dimotori oleh anak anak muda Jepang.
Hasil akhirnya adalah, dunia industri Jepang sebenarnya sudah hopeless untuk melanjutkan usaha industri elektronik, atau industri industri padat karya lainnya. Bilamana pun masih ada yang berlanjut, sebenarnya itu hanya untuk menampung orang orang yang masih bekerja saja.
Maka, kerugian yang dilaporkan oleh Sony, Panasonic dan Sharp, seharusnya dicermati, apakah kerugian tersebut karena business operasional mereka semata atau karena mereka sudah mulai melakukan golden shake hand kepada karyawan yang pensiun dini?
Bayangkan kalau ribuan karyawan, misalnya 3000 orang saja yang pensiun dini dengan menerima uang pensiun sebesar 60 bulan gaji dan gaji rata rata 250.000 yen,, maka dana yang harus digelontorkan untuk itu bisa mencapai 3.000 X 250.000 x 60 = 45 milyar yen, atau setara dengan 5,4 trilyun rupiah. Mungkin itulah kerugian yang dilaporkan. Dan kalau memang demikian, mereka (perusahaan) pasti buru buru mengumumkan dan membayarkannya sebelum jatuh tempo penghitungan dan pembayaran pajak!!!.
Dengan uraian diatas, tentu kita sudah mendapatkan gambaran yang sebenarnya, apa penyebab limbungnya industri elektronik Jepang, yang kemungkinan akan disusul pula oleh industri padat karya lainnya. Dan tentu itu pula yang menyebabkan harga saham mereka anjlok, karena semua berusaha menjual saham yang dimiliki.

Pada bagian satu saya sudah membeberkan, factor apa sesungguhnya yang menyebabkan dunia industri Jepang mengalami kesulitan dan sekarang ini mengalami limbung, yaitu:
Pertama: Faktor eksternal perusahaan, yaitu penjualan ekspor Jepang yang tergerus disebabkan nilai tukar yen yang tinggi sehingga harga produk Jepang menjadi mahal  dan tidak dapat bersaing dengan produk Korea, China atau produk Negara Negara berkembang lainnya.
Kedua: Supply tenaga kerja domestic sangat tidak mencukupi kebutuhan industri, dalam negeri, sehingga industri Jepang tidak bisa berproduksi secara maksimal (efisien).


Akan tetapi, Bung Yodhia mengemukakan bahwa yang menyebabkan ambruknya industri Jepang ada 3 faktor, yaitu:
1. Harmony Culture Error
Bung Yodhia menyalahkan soal harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, membuat kinerja manajemen Jepang menjadi lamban. Bung Yodhia menganggap bahwa Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch.di Jepang sangat lamban karena setiap pengambilan keputusan  harus melalui kesepakatan
2. Seniority Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim promosi karyawan berdasarkan seniority atau urut kacang. Hal ini oleh Bung Yodhia dianggap sebagai penghambat product development.
3. Old Nation Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim manajemen Jepang yang seakan akan mempertahankan pekerja tua, dan menghambat professional muda untuk berkiprah di level atas perusahaan.
Faktor pertama dan faktor kedua adalah adalah merupakan konsep manajemen Jepang, yang sering disebut sebagai “harta suci” dalam konsep HR Management di Jepang. Sedangkan faktor ketiga adalah anggapan bahwa tenaga kerja tua membuat kinerja perusahaan menjadi lamban.
Yang jelas, pada uraian saya di Bagian Kesatu, saya sudah menegaskan vahwa yang menyebabkan limbungnya indddustri di Jepang, bukanlah ketiga faktor ini,
Lalu, apakah ketiga faktor diatas, termasuk 2 faktor pertama yang merupakan konsep manajemen Jepang, bermasalah atau tidak, mari kita telaah lebih dalam.
Sanggahan Pertama: Harmony Culture Error? Salahnya dimana?
Terlebih dahulu, mari kita pilah ungkapan Bung Yodhia menjadi 2 hal, yaitu:
Ü Harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan.
Ü Speed yang lamban karena harus melalui kesepakatan.
Mengenai harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, apakah itu salah? Setiap manajemen pasti selalu berupaya membangun harmony di dalam perusahaan masing masing, dan itu sebabnya ada training Team Work, membangun synergy, manajemen konflik dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan “kesepakatan”. Kesepakatan adalah faktor pendukung untuk kelancaran pekerjaan.
Seabagai contoh, kebetulan pada saat menulis ini saya menemukan pertanyaan dari seorang member diskusi Indonesia HR Forum “apakah ada peraturan/perundangan yang mengatur besaran jumlah tunjangan tidak tetap terhadap gaji Pokok?
Maka, jawaban atas pertanyaan tersebut tidak akan pernah lugas, selama tidak ada kesepakatan tentang makna dan batasan tentang “Gaji Pokok”, “Upah Pokok” dan “Upah Tetap”.
Kesepakatan itu sangat penting demi lancarnya setiap pekerjaan, dan untuk menghindari terjadinya kegagalan atau pelaksanaan yang melenceng (tidak sinkron). Dan sistim inilah salah satu faktor yang mendukung berhasilnya program “zero defect” di Jepang.
Kemudian tentang pengambilan keputusan gaya Jepang, yang membutuhkan waktu lebih lama
Saya tidak tahu sudah seberapa lama Bung Yodhia ini menggeluti perkembangan teori dan konsep manajemen?
Mengapa saya bertanya demikian?
Di Indonesia saja, menjelang tahun 80-an, dengan dimotori oleh LPPM - Jakarta, para praktisi dan akademisi manajemen di Indonesia sudah ramai membicarakan tentang konsep pengambilan keputusan gaya Jepang, yaitu "bottom up decision making".
Pada akhirnya, semua mengakui bahwa "ada kelebihan" dari konsep tersebut.
Saya membenarkan bahwa proses pengambilan keputusan gaya Jepang pasti memakan waktu yang lebih lebih lama, karena pada saat masih rencana saja, rencana keputusan tersebut harus disosialisasikan, dimintai pendapat dari semua pihak yang terkait, dan harus direvisi bila ada usulan yang lebih baik, semua proses ini melalui nemawashi dan uchi awase. Setelah semua sepakat, baru dilakukan persiapan dan pengaturan. Sampai disitu pun masih belum cukup, karena  hasil persiapan harus diverifikasi (check list). Setelah dipastikan tidak ada kesalahan atau kekurangan, barulah rencana dilaksanakan. Dansetelah itu? pelaksanaan akan bergerak sangat cepat, dan hamper dapat dipastikan akan berhasil mencapai sasaran.
Sedangkan pada pengambilan keputusan dengan proses top - down, seorang pimpinan, begitu bangun tidur pun, dalam sekejap, bisa mengambil keputusan "ah! pabrik harus dicat hijau semua!"
Dan setelah sampai di kantor, dia lalu memerintahkan kepada semua jajaran pimpinan menengah "hari ini pabrik harus kita cat menjadi hijau semua!". Apa yang terjadi?
· Seorang bertanya "kenapa harus dicat ulang pak?, mengapa harus hijau pak? mengapa harus semua pak?
· Yang lain lalu bertanya "bisakah ditunda sampai besok? orang saya hari ini banyak yang tidak masuk! mengapa harus hari ini pak?"
· Yang lain lagi mengajukan protes "Pak! tempat saya harus dicat merah karena tempat kerja saya adalah lokasi berbahaya!"
· Yang lain lagi protes "Pak! tempat saya harus dicat kuning untuk meminta semua berhati hati"
· Yang lain ngerundel "Ah! bos saya ini lagi mabuk kali, atau tadi malam gak dikasih kali!" dan lain lain dan lain lain.
Maka, untuk memulai pelaksanaan keputusan tersebut, pasti akan tertunda karena harus menjawab pertanyaan serta menjelaskannya,
Belum lagi keputusan tersebut akan dilaksanakan setengah hati, atau bahkan mungkin tidak dilaksanakan karena merasa protesnya tidak ditanggapi.

Kesimpulannya:
Total waktu yang dibutuhkan (Led Time), mulai dari pengambilan keputusan dengan gaya Jepang - sampai keputusan dilaksanakan sampai berhasil, pasti akan lebih cepat (singkat) ketimbang total waktu (led time) pada pengambilan keputusan gaya top - down - sampai rencana selesai dilaksanakan, dan malah sering kandas di tengah jalan (gagal)

Satu hal lagi adalah, keputusan gaya Jepang hampir tidak pernah gagal, kecuali karena ada faktor x, yang tidak terduga. Dan justru untuk menyelidiki kemungkinan yang tidak terduga itulah maka keputusan gaya Jepang menjadi lebih lama.

Kemudian, tentang speed dalam proses product development industri elektronik Jepang?
Sayang Bung Yodhia ini pasti belum pernah berkunjung ke Akihabara - Tokyo.
Akihabara adalah pusat retail elektronik di Tokyo dan umum disebut sebagai Electronic Town,, luasnya dapat saya gambarkan mulai dari Glodok - sampai Mangga dua di Jakarta
Di Akihabara para produsen berebut cepat untuk memperkenalkan apa yang akan mereka jual 3 - 6 bulan mendatang. Disana mereka memajang prototype barang produksi mereka yang akan di-launch 3 - 6 bulan mendatang.
Mengenai kecepatan proses kerja di dalam pabrik Jepang?
Saya tidak tahu dari mana Bung Yodhia ini mendapat bahan, sehingga mengatakan bahwa proses kerja orang Jepang lambat.
Jangankan bekerja pada level manajemen, bekerja di perusahaan Jepang pun saya kira Bung Yodhia belum pernah.
Mari tanya setiap orang yang pernah bekerja pada perusahaan Jepang, apakah mereka akan membenarkan pendapat Bung Yodhia?

Demikian sanggahan saya untuk faktor pertama yang dikemukakan oleh Bung Yodhia, yaitu tuduhan “Jepang yang lamban”
Sanggahan Kedua: Seniority Error?
Tidak ada satu pun konsep atau teori manajemen yang bisa kita katakan "baik secara absolut", dimana pun diterapkan, hasilnya pasti akan sama baiknya, Tetapi ulasan Bung Yodhia memperlihatkan bahwa dia sesungguhnya kurang memahami bagaimana manajemen Jepang



Dari perang di atas:
  1. sedikitnya SDM atau angkatan kerja di Jepang
  2. Yendaka, kurs Yen tinggi adalah high cost
  3. senioritas Jepang, spt umumnya adat ketimuran, yang tua yang senior yang lebih baik
  4. harmony culture bukanlah penghalang speed dalam mufakat
ada baiknya jika mengemukakan tema mengundang kontroversil dibuat lbh bertanggungajawab dan profesional. Mungkin dalam bentuk karya tulis penelitian atau studi literatur (ada bukti data). sehingga pembaca tidak mempertanyakan subyektifitas penulisan. Lebih bisa diterima 

JEPANG versus KOREA_1

MANAGEMENT STRATEGI : 
Perang Pena mengenai declining beberapa industri Jepang_ Sony - Panasonic - Sharp - Sanyo - Tosiba versus rising bebrapa industri Korea_ LG - Samsung.




Intinya ada beberapa kesalahan strategi perusahaan termasuk analisa SWOT perusahaan Jepang :
1) Harmony Culture Error : Kurangnya speed inovasi, terbentur budaya mufakat menyampaikan ide
2) Seniority Error : Budaya Jepang emnjunjung tinggi senioritas, bahwa yg lebih tua adalah yg paling mampu
3) Old Nation Error : Kurangnya SDM akibat sedikitnya angkatan tenaga kerja dan budaya pilih2 d antara kaum muda menyebabkan tidak mampu regenerasi SDM



Link Blog

http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/
Disalin sesuai aslinya

Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian