FRAUD - KECURANGAN



DEFINISI
Dari sisi definisi belum ada batasan. Menurut kamus  fraud adalah kecurangan. Namun kecurangan yang bagimana belum ada batasan. Kecuali penjelasan seperti di bawah ini. Ruanglingkup yang membatasi adalah kondisi internal lembaga / organisasi.

Dalam referensi tulisan di atas di sebut fraud jika memenuhi nilai di bawah ini secara bersamaan:

  1. Tindakan yang disengaja
  2. Kecurangan
  3. Keuntungan pribadi/kelompok atau kerugian di pihak lain


JENIS FRAUD

menurut  Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), internal fraud (fraud dalam internal lembaga) dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis.


1). Fraud Terhadap Aset (Asset Misappropriation)
penyalahgunaan aset perusahaan (institusi), dengan mencuri atau mengggunakan untuk keperluan pribadi (atau segolongan) —tanpa ijin (atau wewenang) dari perusahaan.  Asset sendiri adalah berupa (cash) cash on hand (dalam rekening tunai atau bank), pihutang, dan (non vcash) berupa persediaan (material maupun finish good), aktiva tetap. Sehingga, asset misappropriation dikelompokan menjadi 2 macam:

Cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa kas (Misalnya: penggelapan kas, mengambil cek dari pelanggan, menahan cek pembayaran untuk vendor)
Non-cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-kas (Misalnya: menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi).


2). Fraud Terhadap Laporan Keuangan (Fraudulent Statements) – ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: (a) financial; dan (b) non-financial. Mungkin yang di maksud ACFE sebagai keuangan  (finance) adalah fraud transaksi keuangan dalam bentuk fisik. Sementara untuk non finance adalah masalah accounting yang biasanya merupakan masalah disclosure nya. Jika membutuhkan pemahaman yang lebih jelas mengenai hal ini saya sarankan melihat refrensi buku Analisa Laporan Keuangan - Subramanyam (2009). 

Misalnya:

  • Memalsukan bukti transaksi --> finance
  • Mengakui suatu transaksi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya--> finance
  • Menerapkan metode akuntansi tertentu secara tidak konsisten untuk menaikan atau menurunkan laba --> non finance
  • Menerapkan metode pangakuan aset sedemikian rupa sehingga aset menjadi nampak lebih besar dibandingkan yang seharusnya --> non finance
  • Menerapkan metode pangakuan liabilitas sedemikian rupa sehingga liabiliats menjadi nampak lebih kecil dibandingkan yang seharusnya -- non finance.
Dalam tulisan saya sebelumnya ada istilah earning management (manajemen laba) hal yg sama d sebut oleh Subramnyam (2009) merupakan non finance.
Mengapa saya membedakan? karena pada earning management garis ini tipis antara fraud dan sekedar kepatuhan pada pihak management. Para pelaku adalah pejabat tinggi d lembaga tersebut.


3). Korupsi (Corruption) – ACFE membagi jenis tindakan korupsi menjadi 2 kelompok, yaitu:

Konflik kepentingan (conflict of interest) – 
Dalam penjelasan referensi terlalu berbelit. Menurut saya adalah 'hubungan istimewa' yang sudah banyak di sebut dalam PSAK, membawa dampak terpengaruhnya  suatu keputusan internal perusahaan yang menyebabkan kerugian material (rupiah) bagi perusahaan. Sementara itu keputusan ini di anggap syah menurut management karena sudah sesuai dengan kewenangannya.
Di Indonesia menyebut ini dengan istilah: kolusi dan nepotisme.

Menyuap atau Menerima Suap, Imbal-Balik (briberies and excoriation) – Suap, apapun jenisnya dan kepada siapapun, adalah tindakan fraud. Menyupa dan menerima suap, merupakan tindakan fraud. Tindakan lain yang masuk dalam kelompok fraud ini adalah: menerima komisi, membocorkan rahasia perusahaan (baik berupa data atau dokumen) apapun bentuknya, kolusi dalam tender tertentu. Lihat tulisan saya mengenai margin pembelian.


CHECKLIST FRAUD
Berikut ini, sesuai referensi saya sebut sebagai checklist dari fraud .


Contoh Modus Fraud Pada Kas (Penyalahgunaan Aset):
  1. Mencuri dari kas kecil (petty cash)
  2. Mengambil uang dari kasir.
  3. Skimming uang tunai sebelum pendapatan rekaman atau piutang (mengecilkan penjualan atau piutang).
  4. Mencuri kas/cek masuk dengan mengalihkannya ke rekening pribadi
  5. Membuat invoice tagihan palsu dengan tanda tangan palsu, seolah-olah itu tagihan dari vendor, tentunya dengan slip penerimaan barang palsu juga.
  6. Membuat email permintaan pembayaran palsu, seolah-olah datangnya dari vendor, yang disusul dengan pengiriman invoice (hardcopy) palsu, dengan approval palsu juga.
  7. Memanfaatkan semptinya waktu di saat-saat menjelang tutup buku, karyawan nakal membuat invoice tagihan palsu, seolah-olah itu invoice susulan (ketinggalan)—untuk mempermudah proses approval pembayaran.
  8. Pencurian cek perusahaan.
  9. Pemalsuan cek perusahaan.
  10. Mengubah nama dan atau nominal cek pembayaran
  11. Menyetorkan cek ke rekening pihak ketiga tanpa persetujuan manajemen perusahan
  12. Cek kiting (skema penipuan menggunakan dua rekening deposito untuk menarik uang secara ilegal dari bank).
  13. Menggunakan kartu kredit atau procurement card perusahaan secara tidak sah (bukan untuk kepentingan perusahaan dan tanpa ijin yang berwenang dalam perusahaan).
  14. Mengubah angka nominal di invoice tagihan ke pelanggan
  15. Membuat memo kredit palsu untuk seolah-olah mengembalikan pembayaran ke pelanggan.
  16. Membayar lebihan kepada vendor untuk diam-diam dikompensasikan di penagihan berikutnya (dan mengantongi pengembalian berikutnya).
  17. Membuat vendor fiktif untuk membuat tagihan palsu.
  18. Mensuplai barang ke dalam persuahaan, lalu diam-diam mengubah catatan tagihan internal perusahaan.
  19. Mencuri identitas dan password yang bukan wewenangnya, untuk melakukan transaksi internet banking.
Contoh Modus Fraud Pada Barang Persediaan dan Aktiva Tetap:
  1. Mencurian barang persediaan perusahaan
  2. Membuat memo debit untuk akun persediaan, untuk kemudiaan bisa mengeluarkan barang persediaan
  3. Mengeluarkan barang dari gudang dalam jumlah yang lebih besar dari packing list (srat jalan)
  4. Menggelapkan piranti kerja protable (kamera, scanner, keyboard, maouse, monitor, komputer, laptop, tablet, handphone, dll).
  5. Mencuri informasi tentang pelanggan yang dirahasiakan oleh perusahaan untuk dijual ke perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
  6. Menjual rancangan/desian/atau informasi sehubungan dengan itu, untuk kemudian dijual kepada perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
  7. Menerima barang hadiah/gift/souvenir apapu bentuknya dari pemasok, di luar kebijakan perusahaan, tanpa seijin pihak yang berwenang dalam perusahaan.
  8. Mengunakan property perusahaan secara tidak sah, untuk kepentingan bukan perusahaan, tanpa seijin pihak berwenang dalam perusahaan.
  9. Inside trading (perusahaan dalam perusahaan), menjalankan bisnis pribadi di dalam persuahaan—entah itu bertindak selaku vendor, pelanggan, atau broker, tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.

Contoh Modus Fraud Dalam Proses Pembelian
  1. Mengubah Purchase Request dan Purchase Order (PO) yang sah, tanpa seijin pihak otoritas.
  2. Menyalin atau memalsukan tandatangan approval Purchase Request dan Purchase Order.
  3. Memalsukan kelengkapan dokumen tagihan
  4. Menyalin atau memalsukan tandatangan otorisasi pembayaran
  5. Mengajukan faktur pembayaran palsu dari pemasok fiktif.
  6. Mengubah termin pembayaran/kredit yang sah tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
  7. Mengubah daftar harga barang-barang yang dibeli oleh perusahaan
  8. Menahan pembayaran ke vendor untuk alasan dan kepentingan pribadi.
  9. Membocorkan informasi kepada vendor sehubungan dengan tender pembelian yang diselenggarakan oleh perusahaan.
  10. Memberikan perioritas pembayaran istimewa kepada vendor tertentu, di luar analisa umur utang—tanpa seijin pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses Penggajian:
  1. Memasukan nama dan identitas karyawan fiktif yang sesungguhnya tidak ada
  2. Memalsukan atau mengubah jam/hari kerja pegawai—yang dibayar berdasarkan jam atau hari.
  3. Memasukan catatan lembur fiktif
  4. Memotong pembayaran gaji pegawai, seolah-olah hukuman dari perusahaan, untuk kemudian selisihnya dikantongi sendiri.
  5. Berkolusi dengan pegawai lain untuk menaikan nominal komisi penjualan
  6. Menaikan upah/gaji, mengubah rate lembur tanpa instruksi dari pihak yang berwenang.
  7. Memanipulasi catatan jumlah cuti yang telah diambil
  8. Mengajukan klaim pembayaran perawatan kesehatan fiktif
  9. Memalsukan atau mengubah angka nominal klaim penggantian biaya berobat
  10. Membuat klaim kompensasi pegawai kontrak/borongan untuk pekerjaan yang sesungguhnya tidak ada.
  11. Dengan sengaja menunda penghapusan nama pegawai yang berhenti, untuk kemudian gajinya tetap dibayarkan untuk dikantongi sendiri (kerap terjadi di perusahaan-perusahaan besar)
  12. Membayarkan dana tunjangan (kesehatan, asuransi, pendidikan) untuk pegawai yang sudah berhenti.
Contoh Modus Fraud Pada Laporan Keuangan:
  1. Dengan sengaja melakukan pengakuan pendapatan terlalu besar/terlalu kecil
  2. Dengan sengaja tidak melakukan penutupan buku di akhir periode (untuk melakukan perubahan-perubahan tanpa perlu adjustment)
  3. Dengan sengaja menaikan nilai penjualan menjelang penutupan buku, untuk kemudian di ajust setelah periode berlalu.
  4. Dengan sengaja memundurkan tanggal kontrak (PO) penjualan
  5. Mencatat penjualan dan pengiriman barang fiktif
  6. Memasukan nilai penjualan yang lebih besar dari kenyataannya
  7. Tidak mencatat dan menghilangkan bukti transaksi penjualan agar laba nampak kecil (untuk penghindaran pajak)
  8. Dengan sengaja memasukaan jenis penjualan non-operasional ke kelompok pendapatan opersional, atau sebaliknya.
  9. Memanipulasi angka diskon atau rabat
  10. Membuat estimasi barang kembali, melakukan perubahan harga dan jenis konsesi lainnya
  11. Dengan sengaja tidak mencatat barang retur
  12. Mengakui pendapatan atas tagihan yang jelas-jelas ditolak oleh pelanggan
  13. Recognising income on products shipped for trial or evaluation purposes.
  14. Mengakui pengiriman barang konsinyasi sebagai penjualan putus
  15. Dengan sengaja menghilangkan bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menghindari pengakuan biaya/pendapatan.
  16. Dengan sengaja membuat bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menaikan atau menurunkan pendapatan.
  17. Dengan sengaja tidak mengakui atau menunda kewajiban kontinjensi
  18. Dengan sengaja menggunakan estimasi persentase pendapatan lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya, dari metode pengakuan pendapatan persentase penyelesaian kontrak
  19. Dengan sengaja mengakui piutang dari pihak yang memiliki hubungan istimewa
  20. Membuat surat perjanjian tidak sah untuk dijadikan bukti transaksi
  21. Mengakui pendapatan atas penyelesaian barang yang sesungguhnya tidak akan pernah dikirimkan ke pelanggan.
  22. Mencatat adanya pengiriman barang lebih awal (entah sebagian atau seluruhnya), padahal sesungguhnya barang belum terkirim.
  23. Mengakui perolehan aset tetap fiktif.
  24. Mengakui nilai pembelian aset bersih lebih tinggi dari kesepakatan yang sesungguhnya, dalam proses merger dan akuisisi.
  25. Mengubah angka nilai wajar aset atas hasil revaluasi
  26. Mengakapitalisasikan suatu biaya (kedalam aset) yang seharusnya tidak dikapitalisasi.
  27. Mengakui sewa pembiayaan sebagai biaya sewa, untuk menghindari pengakuan kewajiban sewa.
  28. Mensekemakan metode penyusutan atau amortisasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih besar atau lebih kecil, untuk maksud menaikan nilai aset atau menaikan pendapatan.
  29. Mengakui goodwill dan aset tak berwujud lainnya dalam nilai yang lebih besar dari yang seharusnya.
  30. Mengakui adanya investasi yang sesungguhnya fiktif
  31. Memanipulasi nilai wajar investasi dari hasil revaluasi yang sah atau dengan sengaja tidak melakukan revaluasi saat harga pasar instrument invetasi mengalami penurunan
  32. Mengakui adanya rekening bank dan rekening koran yang sesungguhnya tidak ada
  33. Menaikan nilai barang bersediaan dengan memasukan barang persediaan fiktif.
  34. Menggunakan metode penilain barang persediaan yang tidak sesuai (tidak diijinkan oleh standar).
  35. Dengan sengaja menggunakan metode penilaian barang persediaan secara tidak konsisten
  36. Mengakui nilai tagihan lebih besar dari yang sesungguhnya.
  37. Dengan sengaja mengakrualkan biaya yang sesungguhnya telah terjadi dan nilai nominalnya sudah diketahui secara pasti (sudah ada tagihan)
  38. Mengakui nilai utang yang lebih kecil dari yang seharusnya
  39. Mensekemakan penentuan provisi, cadangan, termasuk penurunan nilai dan translasi mata uang asing, sedemikian rupa untuk menaikan nilai aset atau menurunkan nilai liabilitas
  40. Perlakuan atas transaksi inter-company yang tidak sesuai.
  41. Perlakuan penukaran atau penarikan aset yang tidak sesuai
Contoh Modus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme:
  1. Memberi perlakuan istimewa kepada pelanggan dan/atau vendor guna memperoleh suap—yang biasa disebut dengan “balas jasa” (kickback).
  2. Berkolusi dengan pihak pelanggan/dan atau vendor.
  3. Menerima suap dari vendor, setelah memberi perlakuan istimewa (yang menguntungkan vendor).
  4. Menerima suap atas pemberian kontrak
  5. Menyetujui pemberian order kepada supplier guna memperoleh suap
  6. Membayar atau tidak membayar vendor, yang secara langsung-tidak langsung memberi keuntungan komersial atau bentuk manfaat kompetitif lainnya bagi pada vendor lain, dan memperoleh suap darinya.
  7. Menyuap petugas/pejabat pemerintah guna memperoleh perlakuan istimewa atau keuntungan tertentu (misal: auditor pajak, bea cukai, imigrasi, dll).
  8. Menerima suap dari perusahaan terakuisisi, sehubungan dengan akuisi bisnis, setelah memberikan perlakuan istimewa yang menguntungkan bagi perusahaan terakuisisi. (biasanya oleh senior management)
  9. Menjual property perusahaan di bawah harga pasar, guna memperoleh suap dari pembeli.
  10. Membeli property untuk persusahaan guna memperoleh suap dari penjual atau agennya.
  11. Menjual konsultasi pribadi dengan pihak ketiga yang bergerak di bidang usaha yang sama atau sejenis.
  12. Merekrut staf yang memiliki ‘hubungan istimewa’ dengannya, sementara ada kandidat yang memiliki kualifikasi yang lebih baik.
  13. Memberikan advise/alih-pengetahuan/training kepada pihak (perusahaan) pesaing, dalam rangka akan pindah kerja ke sana.
  14. Mengikutsertakan diri dalam aktivitas anti-trust (menjelek-jelekan) perusahaan
  15. Mengikutsertakan diri atau berkontribusi (langsung atau langsung) dalam aktivitas politik secara ilegal.
  16. Mengancam keselamatan pihak (perusahaan) lain guna memperoleh imbal-balik.
  17. Menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi kesalahan yang dilakukan oleh orang (pihak lain) guna memperoleh imbal-balik.
  18. Mengancam akan membuka rahasia perusahaan atau pihak lain, guna memperoleh imbal-balik.
Ceklist di atas di buat bukan hanya sekedar imajinasi penulis referensi saja, tetapi merupakan kumpulan banyak kasus yang sering terjadi, bahkan beberapa di antaranya merupakan kasus fenomenal yang sudah dijadikan jurnal bidang etika bisnis.

Silahkan memahami, karena ketidaktahuan kita sering menjebak kita dalam potensi masalah fraud.

MARKET CAP (Market Capitalization)

reff : http://teguhidx.blogspot.com/2010/07/market-cap-hubungannya-dengan-ekuitas.html
Hasil Copas Blog Spot di atas.




Jika anda ingin membeli sebuah tempat usaha, katanlah restoran seharga Rp 1 milyar, dan anda memiliki uangnya, maka apa yang akan anda lakukan? Ya tentu langsung saja membelinya bukan? Tapi bagaimana jika uang yang anda miliki hanya Rp 500 juta? Maka anda bisa mencari rekanan sehingga nantinya akan terkumpul uang Rp 1 milyar tersebut. Katakanlah anda mendapat dua orang partner yang masing-masing menyetor Rp 200 dan 300 juta. Dengan demikian, pendapatan dari restoran tersebut akan dibagi tiga, dimana anda mendapat 50%, dan dua rekan anda masing-masing mendapat 20 dan 30%.

Prinsip pasar modal pada dasarnya seperti itu: membuat sebuah perusahaan dengan harga selangit menjadi bisa dimiliki oleh banyak orang dengan harga murah, karena anda tidak perlu membeli seluruh kepemilikan, tapi hanya sebagian kecil saja. Kemudian diciptakanlah benda yang kemudian disebut dengan ‘saham’, yang jika anda memilikinya maka berarti anda ikut memegang sebagian kepemilikan dari sebuah perusahaan. Maka meski anda hanya seorang investor dengan dana apa adanya, namun anda tetap bisa ikut menikmati laba perusahaan dari perusahaan-perusahaan besar seperti Telkom, Astra International, dan lain-lain, sesuai dengan porsi saham yang anda miliki, dalam bentuk dividen.

Kapitalisasi pasar alias market capitalization (biasa disingkat market cap), pada dasarnya adalah: harga jual sebuah perusahaan. Misalnya restoran yang dicontohkan diatas, kita bisa menyebut bahwa market cap restoran tersebut adalah Rp 1 milyar. Di pasar modal, harga ini dipecah menjadi jutaan bahkan milyaran lembar saham, sehingga anda bisa membelinya dengan harga murah. Misalnya, market cap ADRO saat ini adalah Rp 64.8 trilyun. Anda tidak punya uang sebanyak itu? Tak masalah, karena ADRO memecah harga tersebut menjadi 31.9 milyar lembar saham, sehingga harga per sahamnya adalah Rp 2,025. So, hanya dengan modal Rp 2 juta lebih sedikit, anda sudah bisa membeli 1,000 lembar saham ADRO. Hanya memang, dividen yang akan anda terima nantinya juga sangat sedikit, hingga boleh dikatakan tidak berarti. Jika ADRO membagikan dividen Rp 100 per saham (dividen yield 5% sudah termasuk bagus), maka anda hanya akan kebagian Rp 100,000.

Dari uraian diatas, kita tahu bahwa market cap adalah: harga saham dikali jumlah saham yang beredar. Dengan demikian, jika harga saham atau jumlah saham yang beredar berubah, maka market cap sebuah emiten juga akan berubah. Harga saham tentunya dapat berubah setiap saat, apalagi jika sahamnya likuid (aktif diperdagangkan). Jumlah saham yang beredar juga dapat berubah sewaktu-waktu (tidak setiap saat) jika perusahaan melakukan buyback, stocksplit, reverse stock, right issue, dan lain-lain.

Lalu apa hubungan antara market cap dengan ekuitas?

Ekuitas adalah modal bersih sebuah perusahaan. Sedangkan aset adalah ekuitas ditambah utang. Misalkan anda membeli restoran tadi dengan modal 500 juta, dan karena anda tidak memperoleh partner, maka sisa 500 jutanya anda pinjam ke bank. Maka restoran tersebut memiliki aset 1 milyar, yang terdiri dari ekuitas 500 juta dan sisanya utang. Bagaimana kalau tak lama setelah memilikinya, anda lalu menjual restoran tersebut? Maka bisa dengan dua cara:. 1. Pembeli membayar 500 juta dan utang bank yang anda tanggung dialihkan kepadanya, atau 2. Pembeli membayar 1 milyar penuh.

Karena itu, market cap idealnya setara dengan ekuitas sebuah perusahaan. Semakin tinggi market cap dibandingkan ekuitas atau aset sebuah perusahaan, maka semakin mahal harga perusahaan tersebut. Tentunya tidak masuk akal jika anda menjual restoran tersebut pada harga yang lebih tinggi dari 500 juta, sedangkan restoran tersebut juga belum beroperasi dan menghasilkan laba. Kecuali jika restoran tersebut sudah menghasilkan laba bersih yang ditambahkan ke modal. Misalnya setelah 1 tahun, restoran yang anda miliki ternyata bisa menghasilkan keuntungan bersih 200 juta, dimana 100 juta anda ambil, dan 100 jutanya lagi anda gunakan untuk investasi (misalnya membuka cabang baru, atau untuk membayar sebagian utang bank, dan sebagainya). Maka ekuitas restoran anda tidak lagi 500 juta, melainkan 600 juta. Dan siapapun yang berminat untuk membeli restoran anda, maka dia harus membayar minimal 600 juta.

Saya katakan minimal karena kalau anda pandai berbisnis, anda bisa menjual restoran itu dengan harga lebih mahal, katakanlah 800 juta. Bagaimana caranya? Anda katakan saja kepada calon pembeli anda bahwa restoran anda tersebut kedepannya akan menghasilkan laba bersih yang lebih banyak lagi. Katakan misalnya: dalam setahun kedepan, restoran ini akan menghasilkan kembali laba bersih 200 juta, sehingga layak dijual pada harga 800 juta. Jika si pembeli tergiur, maka selamat! Anda berhasil menjual restoran anda pada harga atau market cap yang lebih tinggi dari ekuitasnya. Anda tidak perlu menunggu 1 tahun untuk memperoleh laba bersih 200 juta tadi, si pembeli-lah yang harus menunggu.

Dan itulah yang terjadi di pasar modal. ADRO misalnya, market cap-nya yang Rp 64.8 trilyun tadi, adalah 3.6 kali ekuitasnya, yang cuma Rp 18.2 trilyun. Jika kita pakai hukum bahwa idealnya market cap setara dengan ekuitas, maka harga saham ADRO harusnya cuma Rp 550 per saham, bukan 2,025 seperti sekarang. Atau jika cara membeli kedua yang dipakai (anda membeli seluruh aset ADRO tanpa harus menanggung utang-utang ADRO), maka harga saham ADRO seharusnya Rp 1,300, dimana harga tersebut akan menghasilkan market cap yang setara nilai aset ADRO.

ADRO tidak sendirian. Kebanyakan saham-saham lain, terutama bluchip dengan kinerja bagus, juga seperti itu: market capnya diatas aset dan ekuitasnya, bisa dua atau tiga kalinya, atau bahkan lebih. ADRO tidak ada apa-apanya dibanding UNVR, yang pada harga sekarang (16,650), mencatatkan market cap Rp 127.0 trilyun. Itu setara dengan 27.2 kali ekuitas dan 14.7 kali aset UNVR. Apa yang membuat harga UNVR menjadi selangit seperti itu? Karena kinerjanya sangat-sangat baik sehingga prospeknya sangat cerah. Yap! Harga saham adalah cerminan dari ekspektasi atau harapan dari investor akan laba yang bisa dihasilkan oleh perusahaan di masa depan. Karena dengan menghasilkan laba, berarti nilai ekuitas perusahaan akan terus meningkat setiap tahunnya. Maka wajar jika perusahan dengan kinerja bagus harga alias market cap-nya bisa berkali-kali lipat dibanding modal bersih alias ekuitasnya. Dan wajar pula perusahaan yang kinerjanya buruk (misalnya rugi terus), market cap-nya biasanya setara dengan ekuitasnya, atau hanya sedikit diatasnya (misalnya 1.1 kali).

Karena itulah, sebuah saham bisa dikatakan murah, salah satunya jika harganya menghasilkan market cap yang setara dengan ekuitasnya atau hanya sedikit lebih tinggi (kalau lebih kecil dari ekuitasnya sih hampir tidak mungkin, kecuali jika perusahaannya punya kinerja yang jelek banget). Sehingga market cap ini bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menghitung harga wajar saham. Lalu bagaimana kalau harganya menghasilkan market cap dua, atau bahkan tiga kali ekuitasnya? Ya tergantung: kalo kinerjanya bagus, harga tersebut mungkin masih belum mahal. Tapi kalau kinerjanya jelek, maka harga tersebut jelas mahal.

Dalam analisis fundamental, perbandingan antara market cap dan ekuitas dikenal dengan PBV (Price to Book Value). Price adalah market cap, sementara Book Value adalah ekuitas. Contohnya saham A, market cap-nya 100 milyar, sementara ekuitasnya 40 milyar. Maka PBV-nya 100 / 40 = 2.5 kali. Pada contoh ADRO dan UNVR diatas, kita bisa katakan kalau PBV mereka masing-masing adalah 3.6 dan 27.2 kali. Semakin tinggi angka PBV ini, maka semakin mahal sahamnya.

Biasanya investor tidak peduli meski harga saham yang mereka beli sebenarnya terlalu mahal, karena biasanya yang mereka incar bukan dividen, melainkan keuntungan dari membeli ada harga murah dan menjual pada harga tinggi. Mengapa? Sebab seperti yang sudah dijelaskan diatas, jumlah nominal dividen biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan harga sahamnya. Sudah gitu, dibagikannya hanya setahun sekali pula. Karena katanya pasar modal menjanjikan ‘keuntungan berlimpah dalam waktu sekejap’, maka kebanyakan investor lebih suka memutar sahamnya ketimbang menunggu pembagian dividen.

Ketika artikel ini ditulis IHSG berada di posisi 2,981, dan tampaknya hanya soal waktu saja sebelum IHSG menembus 3,000. Tahukah anda bahwa seandainya semua harga saham disetarakan dengan ukuran ekuitasnya masing-masing (PBV-nya 1 kali), maka IHSG mungkin bahkan tidak akan mencapai angka 2,000? Well, namun inilah pasar modal, dimana prospek adalah segalanya.







MENGECILKAN PPh 21



Mereka yang sudah cukup lama jadi pegawai akuntansi atau konsultan—entah itu konsultan pajak atau konsultan keuangan korporat—pasti pernah diminta untuk mengecilkan Pajak Penghasilan Pegawai (PPh 21). Saya pribadi pernah mengalaminya beberapa kali—klien bertanya: “Apakah PPh 21 bisa dikecilkan?” atau “Bagaimana caranya mengecilkan pajak penghasilan pegawai?”

Sebagai orang akuntansi yang menjunjung tinggi akuntanbilitas dan mengerti hukum pajak, sudah pasti merasa tidak nyaman ketika atasan (atau klien) meminta kita mengecilkan pajak, apapun jenisnya, termasuk pajak yang oleh orang awam disebut sebagai “pajak gaji pegawai” ini.

Masalahnya, boss/klien memiliki posisi tawar lebih dibandingkan kita. Kasarannya, tingkat kebutuhan kita terhadap mereka lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan mereka terhadap kita. Sehingga, permintaan semacam ini membuat kita berada dalam posisi serba salah. Dengan kata lain “maju kena, mundur kena”.

Di satu sisi, kita tahu persis itu tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Pajak, disisi lainnya kita tidak ingin mengecewakan boss atau klien. Tentu. Bisa saja kita menolak dengan mengatakan bahwa itu tidak dibolehkan. Tapi, coba simak respon di bawah ini (saya cuplik dari percakapan dengan klien beberapa bulan yang lalu).

“Saya tahu itu tidak boleh. Masalahnya saya tidak tega melihat pegawai yang gajinya tidak seberapa masih harus dipotongi pajak.”

See? Mereka (pengusaha) tahu kalau mengecilkan pajak gaji karyawan itu tindakan ilegal, tetapi mereka punya alasan yang saya pikir termasuk niat baik (meringankan beban pegawainya). Meskipun demikian, saya melihat alasan yang dikemukakan belum tepat, itu sebabnya saya katakan:

“Kalau memang kasihan sama pegawai, mestinya anda bisa naikan gajinya atau tanggung pajaknya. Bukan dengan mengecilkan pajak gaji”.

Saya sarankan begitu, klien jadi berang. Dia mengatakan:

“Lho, harapan saya bukan cuma naikan gaji pegawai atau nanggung pajak mereka. Kalau bisa, saya ingin menanggung pajak seluruh rakyat Indonesia. Tapi bisnis kan tidak bisa begitu. Bisa saja saya naikan gaji mereka, tapi mungkin perusahaan tutup sebulan setelahnya. Saya rasa itu bukan cara yang baik.”

Apa yang dikatakan oleh klien saya itu, ada benarnya. Pada titik tertentu, perusahaan memang tidak akan sanggup lagi untuk berbuat lebih—terbentur oleh keterbatasan sumber daya, terutama finansial. Argumen itu menjadi semakin menguat, ketika klien mengatakan:

“Perusahaan mertua saya sudah jalan berpuluh-puluh tahun. Mereka bisa mengecilkan pajak pegawai, entah bagaimana cara konsultan pajaknya. Yang jelas tak pernah ada masalah.”

Saya percaya, apa yang dikatakan oleh klien saya itu memang benar: ADA konsultan pajak yang dengan mudah menuruti permintaan klien seperti itu. Dalam persaingan jasa konsultasi pajak yang kian-hari-kian tidak kondusif seperti sekarang, tidak mustahil kalau ada konsultan pajak yang bahkan tidak sekedar menuruti, TETAPI MENGANJURKAN—sebagai bagian dari promosi. Saya kenal beberapa dari mereka yang melakukan praktek seperti itu.

Apakah, secara teknis, mengecilkan PPh 21 bisa dilakukan?

Yuk kita pindah ke paragraph selanjutnya.




Saya bukan konsultan pajak. Tetapi, saya tahu, jawabannya adalah: IYA, secara teknis bisa dilakukan.

Bagimana caranya?

Note: Sebelum saya bahas lebih jauh, saya merasa perlu memperingatkan agar anda membaca tulisan saya ini hingga tuntas, paragraph-demi-paraph. Jangan sepotong-supotong, supaya memperoleh pemahaman yang utuh.

Kembali ke persoalan utama. Besar-kecilnya pajak, apapun jenisnya, ditentukan oleh 2 variable: (1) Tarif; dan (2) Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Demikian halnya dengan PPh 21.

Tarif pajak sudah pasti tidak bisa diubah-ubah, bisa dibilang ini konstanta. Sehingga yang bisa diubah hanya dasar pengenaan pajaknya—dalam hal ini adalah pendapatan pegawainya, entah itu berupa gaji, upah, bonus, insentif, gratifikasi, atau apapun itu yang menjadi pendapatan bagi pegawai (pegawai perusahaan dalam hal ini).

Usaha mengecilkan PPh 21 bisa dilakukan dengan cara mengecilkan pendapatan pegawai. Kasarannya, gaji pegawai dibuat ‘seolah-olah’ lebih kecil dari yang sebenarnya.

Tentu saja tidak dilakukan dengan cara main ganti angka begitu saja, melainkan dengan menjalakan serangkian langkah-langkah tertentu—sebut saja prosedur—yang membuat tindakan mengecilkan PPh 21 tidak ketahuan oleh pemeriksa pajak (auditor dari Ditjen Pajak). Setidak-tidaknya, membuat menjadi tidak mudah ketahuan.

Bagimana prosedurnya?

Tindakan mengecilkan Pajak Pendapatan Pegawai (PPh 21), memerlukan beberapa tahapan pekerjaan yang dirancang sedimikian rupa, sehingga tidak (mudah) ketahuan.



Tahapan Pertama: Pekerjaan Di Daftar Gaji dan Upah Pegawai

Langkah-1. Mengcopy file daftar upah dan gaji pegawai. Yang diotak-atik nantinya adalah file copy-nya, sedangkan file aslinya disimpan di eksternal hardisk.

Langkah-2. Membuka copy file daftar upah dan gaji pegawai di spreadsheet (Excel misalnya)

Langkah-3. Memisahkan antara gaji/upah pegawai yang DI ATAS Pendapatan-Kena-Pajak (PTKP) dengan yang DI BAWAH PTKP. Yang di bawah PTKP singkirkan, yang akan dikecilkan hanya upah/gaji yang di atas PTKP.

Langkah-4. Menentukan pegawai mana yang akan dikecilkan dan berapa. Di titik ini, orang yang ingin memperkecil PPh 21, pastinya mempertimbangkan banyak hal, tetapi fokus utamanya sudah pasti: membuat agar tidak ketahuan. Dua pertimbangan utama di langkah ini, yaitu:

Mempertimbangkan antara target penurunan jumlah nominal yang diinginkan dengan potensi ketahuan. Logika dasarnya: makin agresif, maki tinggi nominal yg berhasil dikecilkan, TETAPI makin besar juga potensi ketahuannya. Demikian sebaliknya. Misalnya: Jika yang diperioritaskan adalah gaji pegawai yg tinggi, pasti nominal yg bisa dikecilkan jadi lebih tinggi, tetapi perubahan mencolok pada gaji-gaji yang tinggi mudah terlihat.
Mempertimbangkan antara target penurunan jumlah nominal yang diinginkan dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan untuk menutupi. Logikanya masih sama. Jika yang diperioritaskan adalah yang gajinya tinggi, maka makin sedikit jumlah pegawai yang gajinya perlu diturunkan, dan makin sedikit juga pekerjaan yang diperlukan untuk menutupi, TETAPI kemungkinan ketahuannya makin besar. Sebaliknya, jika yang diperioritaskan adalah pegawai yang gajinya kecil, maka makin banyak jumlah pegawai yang harus ditangani—sehingga pekerjaan menutupinya juga makin banyak, TETAPI semakin kecil kemungkinannya untuk ketahuan.
Langkah-5. Mengurangi nilai gaji/upah/bonus/gratifikasi/dll. Setelah melalui pertimbangan (di langkah-3) dan keputusan sudah diambil, maka angka-angka gaji/upah/bonus/gratifikasi/dll mulai diotak-atik (intinya dikurangi), sehingga titik nilai nominal PPh 21 tercapai.

Langkah-6. Sebagai alternative langkah-5 di atas, bisa dilakukan dengan menghapus daftar pegawai yang pajaknya mau diturunkan. Ini jalan pintas yang paling cepat dan mudah dilakukan, tetapi tidak bisa dilakukan dalam jumlah yang banyak, karena akan sangat mudah terlihat.



Tahap Kedua: Pekerjaan Di Slip Gaji

Jika hanya daftar gaji saja yang berubah, sementara slip gaji tidak berubah, maka saat diperiksa oleh auditor dari Ditjen Pajak, akan mudah ketahuan. Dalam proses audit, besar kemungkinan pemeriksa meminta arsip slip gaji/upah pegawai.

Pekerjaan di tahapan ini intinya membuat slip gaji/upah GANDA, khusus untuk pegawai yang pajak gajinya diturunkan. Slip yang satunya mencantumkan nilai nominal aslinya, sedangkan slip gaji yang satunya lagi mencantumkan nilai nominal yang sesuai dengan daftar gaji/upah yang sudah diubah-ubah. Slip yang diarsipkan adalah slip yang kedua. Jika ada nama pegawai yang dihapus dari daftar gaji, otomatis slipnya juga tidak dibuat.

Sampai di tahap ini, daftar gaji/upah dan slip gaji sudah sesuai (matching). Apakah pekerjaanya sudah selesai? Belum. Masih ada dua tahapan lagi.



Tahap Ketiga: Pekerjaan Di Proses Pembayaran Gaji

Dalam proses akuntansi dan pajak, aspek yang sangat penting sifatnya adalah “arus kas”. Jika hanya daftar gaji dan slip saja yang matching, tetapi tidak tercermin di arus kas, maka akan sangat mudah ketahuan saat diperiksa oleh auditor DJP.

Dalam setiap proses audit, audit apapun itu, pemeriksaan arus kas adalah wajib. Dalam hal ini, dokumen dibandingkan dengan transaksi yang terlihat di kas.

Bagaimana cara mereka (yang mengecilkan PPh 21) membuat agar daftar gaji, slip gaji dan arus kas menjadi matching?

 Setiap gaji/upah yang nilainya diubah, dibayarkan dalam bentuk tunai (tidak via transfer atau check). Dengan begitu, maka auditor tidak akan bisa melacaknya di rekening koran. Inilah yang menyebabkan mengapa pertimbangan jumlah pegawai yang pajaknya diturunkan menjadi penting (Tahap kedua langkah-4), karena membayar gaji dalam bentuk tunai dengan jumlah pegawai yang banyak, sangat merepotkan.

Langkah penghilangan jejak yang sangat penting di sini adalah: penarikan tunai dilakukan secara bertahap jauh-jauh hari sebelum tanggal gajian. Dan jumlah yang ditarik melebihi jumlah gaji yang akan dibayarkan secara tunai. Dengan begitu, maka auditor tidak akan bisa menghubungkan jumlah nominal penarikan tunai dengan selisih gaji yang dibayarkan tunai, termasuk tanggalnya. (Ditahap terakhir nanti, anda akan tahu mengapa ini mereka lakukan.)



Tahap Keempat: Pengalokasian Selisih Kas

Langkah ini adalah finishing yang sangat penting. Mereka yang coba-coba melakukan tindakan pengecilan PPh 21 tetapi cerboh—tidak melakukan finishing yang bagus, akan sangat mudah ketahuan. Tindakan di tahap pertama (mengurangi nominal gaji di daftar gaji) akan menimbulkan selisih saldo kas, sebesar nominal gaji yang dikurangkan. Mereka yang cerdik mengalokasikan selisih kas ini dengan cerdik juga. Kemana dialokasikan?

Sudah pasti ke beberapa akun yang ada di Laba-Rugi (makin banyak jumlah akun yang menerima pengalokasian, makin sulit dilacak oleh auditor, dan sebaliknya). Pertanyaanya: akun mana?

Jika dialokasikan ke akun-akun kelompok ‘Harga Pokok Penjualan’, dampaknya menjadi sangat luas. Terlalu rumit dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan—karena akun-akun ini bisa berdampak kemana-mana.

Akun yang biasanya dipilih adalah akun-akun yang ada di kelompok biaya-biaya (di luar HPP). Mereka yang cerboh biasanya mengambil jalan yang termudah, yaitu dialokasikan ke “Biaya Lain-Lain” atau “Biaya Perjalanan Dinas”. Jika ini yang dilakukan maka kemungkinan ketahuannya menjadi sangat besar. Mengapa?

Karena auditor Ditjen Pajak sangat tahu bahawa kedua akun ini adalah akun tempat penampungan transaksi-transaksi yang tidak jelas maksud dan tujuannya, penampungan selisih-selisih angka atau transaksi-transkasi yang tidak ada notanya. Oleh sebab itu, akun “Biaya Lain-Lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas” adalah priotitas pemeriksaan. Apalagi jika nilai nominalnya tinggi, sudah pasti mengundang kecurigaan auditor.

Jika auditor tidak memiliki cukup waktu untuk menelusuri transaksi-per-transaksi, maka besar kemungkinan akun “Biaya Lain-lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas” dijadikan koreksi fiskal positive 100%. Artinya, seluruh biaya di kedua akun ini tidak diakui sebagai biaya, sehingga laba menjadi naik, otomatis PPh juga naik.

Mereka yang cerdik, mengalokasikan selisih kas atas pengecilan gaji ke akun-akun di luar “Biaya Lain-Lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas”. Tentu, tidak dialokasikan ke Biaya Listrik atau Biaya Telepon, karena kedua akun ini memiliki bukti transaksi yang tidak bisa diubah.

Setelah dialokasikan, maka dibuatkan bukti transkasi/nota/invoice (palsu pastinya). Tanggal pembayaran atas nota-nota tersebut dibuat sehari atau dua hari setelah penarikan kas tunai untuk gaji yang dibayarkan secara tunai (di tahap ketiga). Sekarang anda sudah tahu mengapa penarikan tunai untuk pembayaran gaji yang dibayarkan secara tunai dilakukan secara bertahap, jauh-jauh hari sebelum tanggal gajian.




Apakah saya sedang mengajarkan dan menganjurkan anda untuk melakukan tindakan pengecilan pajak penghasilan pegawai atau pajak gaji (PPh 21)?

Jika anda pikir iya, berarti anda salah. Saya justru ingin menununjukan, bahwa:

Betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan hanya untuk mengecilkan PPh 21 yang biasanya tidak terlalu besar.
Betapa repot dan ribetnya pekerjaan yang harus dilakukan setiap bulan selama bertahun-tahun, untuk melakukan penghindaran pajak.
Belum lagi jika bicara mengenai tekanan mental (akibat pelanggaran etika, moral dan religiusitas/dosa) yang harus ditanggung oleh pegawai accounting atau pegawai konsultan yang dipaksa untuk melakukan itu. Tidak bisa dihitung dalam angka.

Secara keseluruhan potensi risiko dan cost yang timbul akibat tindakan itu sangat tidak sebanding dengan benefit yang ditimbulkan. Apalagi jika itu dilakukan untuk maksud yang mulia, yaitu: membantu meringkan beban karyawan (orang kecil). Rasanya sangat tidak rasional.

Itulah yang saya sampaikan kepada klien yang setengah memaksa supaya saya menyetujui rencananya untuk mengecilkan pajak penghasilan pegawai (PPh 21). Entah dia mengerti maksud saya atau tidak, yang jelas akhirnya dia membatalkan rencananya.

Maksud saya mempublikasikan tulisan ini adalah ingin share pendapat (disebut himbauan juga boleh) kepada siapapun (entah itu pegawai accounting atau konsultan pajak) yang berpotensi melakukan tindakan ini, bahwa: jika mau menjelaskan dengan baik, jika ada keinginan untuk mengedukasi pengusaha/klien, SANGAT BISA. Pengusaha adalah orang-orang yang positive-realistic. Mereka juga menjunjung tinggi moralitas—sepanjang itu masih dalam kisaran masuk akal. Ayolah, ini sudah bukan jamannya menjual jasa pengecilan pajak atau bentuk penghindaran pajak sejenisnya. Setuju?

&&&&&&&&&&&&&&&&&



Begitulah kira - kira dilema bagian keuangan atau bagian konsultan akuntansi ketika menerima permintaan pengecilan PPh21 oleh pengusaha. Hal di atas bukan merupakan bagian dari tax planning perusahaan tapi sudah masuk dalam wilayah manipulasi data keuangan. 

Jika pembayaran PPh21 menjadi pembebanan perusahaan maka hal ini sudah masuk wilayah earning managament dalam definisi buruk.
Jika pembayaran PPh21  menjadi kewajiban pekerja, maka hal ini bukan termasuk kegiatan CSR perusahaan untuk karyawannya.
Mengapa ?

Karena resiko yang diterima atas koreksi fiskal dan denda sekaligus black list oleh fiscus jauh beresiko lebih tinggi. Ingat rumusan bahwa semakin tinggi nominal yang di sembunyikan maka semakin besar resikonya.

Hal lain, bahwa resiko para pemikir di wilayah ruanglingkup pekerjaan ini, jauh lebih mahal harganya daripada keinginan menggoalkan tujuan earning management atau CSR pengusaha.
Ini saya garis bawahi, karena saya juga juga victim atas permintaan seperti di atas oleh atasan yang tidak paham resiko.