Neraca , Klasifikasi Aset dan Liabilitas Sesuai IFRS


diambil dari : jurnal akuntansi

Khususnya di perusahaan publik, urusan klasifikasi aset dan liabilitas, dalam neraca, bisa menjadi sumber tantangan tersendiri, terutama bagi perusahaan yang menerpakan pelaporan keuangan sesuai IFRS untuk pertamakalinya. Misalnya: transaksi apa saja yang masuk pos “setara kas’? Apakah sertifikat deposito masuk klasifikasi kas?
Di perusahaan yang berstatus non-publik, terutama bagi pemula, mengklasifikasikan transkasi masih menjadi kesulitan utama—“transaksi ini masuk ke akun mana?” masih menjadi pertanyaan yang paling sering dilontarkan.

Ada 2 alasan mengapa klasifikasi aset dan liabilitas sangat penting untuk dipahami oleh akuntan—baik yang menangani perusahaan publik maupun non-publik:

  • Mengklasifikasikan transaksi apapun itu (termasuk aset dan liabilitas) adalah salah satu langkah penting dalam siklus akuntansi. Salah mengklasifikasikan transaksi bisa mengakibatkan salah-saji yang bersifat material pada laporan keuangan.
  • Aset dan liabilitas adalah 2 kelompok akun utama, dalam laporan posisi keuangan (alias “Neraca”), yang menampung sebagian besar transaksi di dalam perusahaan. Bisa dibilang, sebagian besar transaksi masuk kelompok aset dan liabilitas. Alangkah kacaunya laporan keuangan bila klasifikasi kedua kelompok akun ini kacau-balau.

Salah saji adalah kesalahan material  pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. 

Bagaimana Laporan Posisi Keuangan Disajikan (Sesuai IFRS)?
Seperti sudah disampaikan di awal, kelompok aset dan liabilitas adalah komponen utama Neraca, selain “ekuitas pemilik” (shareholder’s equity).

Neraca, secara umum, menyajikan informasi (baca: laporan) mengenai kekayaan perusahaan dan klaim-klaim sehubungan dengan kekayaan tersebut. Klaim dalam hal ini, bisa berupa utang atau kepemilikan saham oleh pihak luar (kreditur dan pemegang saham).
Secara konseptual, penyajian laporan keuangan (termasuk penyajian aset dan liabilitas), diatur dalam “Kerangkerja IASB”. Sedangkan teknisnya diatur dalam “IAS 1”. Untuk kita di Indonesia, ketentuan yang sama dituangkan dalam PSAK 1.
Barangkali ada yang belum tahu, sejak revisi IAS 1, judul laporan “Neraca” berubah menjadi “Laporan Posisi Keuangan” (Statement of Financial Position). Menurut IASB, istilah “laporan posisi keungan” lebih mewakili fungsi yang sesungguhnya. Sementara “Neraca”, meskipun mewakili konsep ‘double-entry’—dimana sisi debit dan kredit harus selalu dalam kondisi seimbang (=balance)—tidak cukup deskriptip menyebutkan informasi apa yang disajikan di dalamnya.


Lain daripada itu, menurut IASB, istilah “posisi keuangan” telah lama digunakan oleh kalangan auditor di seluruh dunia sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sebelum IFRS lahir.
Pertimbangan-pertimbangan itulah mengapa istilah “Neraca” digantikan dengan “Laporan Posisi Keuangan”.
Catatan: IASB singkatan dari “International Accounting Standard Board”, sebuah badan khusus, bermarkas di London (Inggris) sana, yang menyusun standar akuntansi internasional yang rencananya diberlakukan diseluruh negara di dunia (meskipun belum semua negara menerapkan IFRS, sampai saat ini, termasuk AS dan Jepang).
Kembali ke penyajian “laporan posisi keuangan” (alias Neraca) menurut Kerangkakerja IASB dan IAS 1. Untuk disajikan dalam laporan keuangan, suatu even ekonomis (=transaksi) harus memenuhi ketentuan mengenai: definisi, pengukuran, dan pengakuan, seperti yang tertuang dalam dalam Kerangkakerjanya IASB.
Laporan Posisi Keuangan (Neraca), secara ringkas, disajikan sebagai berikut:


  • Aset                 = Rp xxx
  • Liabilities         = Rp xxx
  • Ekuitas Pemilik  = Rp xxx

Dimana,
Aset = Liabilitas + Ekuitas Pemilik
Penyajian aset, menurut IAS 1, dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

  1. Aset Lancar (current assets); dan
  2. Aset Tak Lancar (noncurrent assets)

Liabilitas-pun dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

  1. Liabilitas Lancar (current liabilities); dan
  2. Liabilitas Tak Lancar (noncurrent liabilities)

Catatan: Sedikit berbeda dengan IAS 1 (IFRS aslinya), dalam PSAK 1 liabilitas dibagi menjadi (1) liabilitas jangka pendek; dan (2) liabilitas jangka panjang. Menurut saya pribadi, penggunaan “jangka panjang” dan “jangka pendek” khusus untuk liabilitas, lebih pas. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah ini—meskipun ini ulasan mengenai IFRS (IAS 1).
Selanjutnya mari kita lihat, pengklasifikasian untuk masing-masing kelompok—baik aset maupun liabilitas.

Klasifikasi Aset Lancar Sesuai IFRS
Suatu aset diklasifikasikan ke dalam kelompok “aset lancar” apabila memenuhi salahsatu kriteria berikut ini:

  • Dalam bentuk kas atau setara-kas yang penggunaannya tidak dibatasi (untuk menyelesaikan laibilitas sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan); atau
  • Diharapkan dapat direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal laporan posisi keuangan (=tanggal neraca); atau
  • Diharapkan dapat direalisasikan, baik digunakan/dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual kepada pihak lain, dalam “siklus operasi normal” perusahaan; atau
  • Dimiliki untuk maksud diperdagangkan

Jika tak satupun dari keempat kriteria di atas terpenuhi, maka suatu aset diklasifikasikan ke dalam kelompok “aset tak lancar”.
Kiranya perlu disadari bahwa, yang dimaksud dengan “siklus operasi normal” pada salahsatu kriteria di atas adalah: RENTANG WAKTU sejak perolehan (=pembelian) aset, diproses (jika ada), hingga dapat direalisasikan atau diubah ke dalam bentuk bentuk kas atau setara kas (bahasa awamnya = terjual).

Note: PSAK 1 menambah bahwa, “ketika siklus operasi normal entitas tidak dapat diidentifikasikan secara jelas, maka diasumsikan selama 12 bulan.”
Itu sebabnya mengapa “persediaan” dan “piutang” masuk kelompok aset lancar, meskipun belum tentu dapat direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal laporan.
Khusus untuk aset lancar yang tidak bisa direalisasikan dalam jangka 12 bulan setelah tanggal pelaporan, IAS 1 memandatkan agar nilai (=amount) yang diperkirakan baru bisa direalisasika di tahun buku berikutnya, dijelaskan lebih rinci di dalam “penjelasan laporan keuangan”—istilahnya “disclosed”.

Menggunakan ketentuan di atas, maka yang bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok aset lancar adalah item-item berikut ini:

1. Kas dan Setara Kas
Kunci pemahamannya sederhana: apapun yang BISA DITABUNG DI BANK dan BISA DITARIK DALAM WUJUD KAS SEWAKTU-WAKTU, dianggap “KAS“.Misalnya: uang kertas, koin, check yang belum diuangkan, termasuk kas yang sudah tersimpan di bank. Sedangkan sertifikat deposito, BUKAN KAS, sebab ada pembatasan jangka waktu penarikan.
Untuk bisa diklasifikasikan sebagai “aset lancar” kas harus tersedia untuk digunakan. Menurut IAS 1, kas yang disimpan tidak untuk digunakan dalam periode ini atau penggunaannya dibatasi dan belum akan boleh digunakan dalam siklus operasional normal, TIDAK diklasifikasikan sebagai aset lancar.
Sedangkan yang diklasifikasikan ke dalam pos “Setara Kas” (cash equivalents), menurut   IAS 7 (PSAK no.02), adalah investasi jangka-pendek bersifat likuid yang (1) siap diuangkan dengan nilai pasti; dan (2) sudah mendekati masa jatuh tempo pencairan (biasanya memiliki jangka waktu pencairan 3 bulan atau kurang), tidak memiliki risiko perubahan nilai yang signifikan—akibat perubahan suku bunga. Misalnya:treasury bills, commercial paper, dan reksadana pasar uang.

2. Investasi Jangka-Pendek Untuk Diperdagangkan
Insrumen investasi yang dimaksudkan untuk dijual kembali dalam jangka pendek—guna memperoleh keuntungan—masuk kelompok “aset lancar”. Masuk kelompok ini antara lain: efek sekuritas dan sekuritas ekuitas yang dibeli untuk maksud diperjualbelikan. Aset derivative keuangan, rata-rata masuk dalam kelompok ini, kecuali yang dimaksudkan untuk tujuan pemagaran (hedging).

3. Piutang Dagang (Piutang)
“Piutang Dagang” atau “Piutang” saja (accounts receivable), adalah sejumlah tagihan kepada pelanggan yang timbul dari operasional normal perusahaan.
Masuk dalam kelompok ini antara lain: piutang pada pelanggan (piutang usaha), piutang pada perusahaan afiliasi, piutang pada karywan (staf, manager, eksekutif). Jika ada cadangan piutang atau penurunan nilai piutang akibat adanya diskon, retur penjualan, dan piutang tak tertagih, harus dirinci dalam “penjelasan laporan keuangan”.

4. Persediaan
“Persediaan” (inventory), menurut IAS 2, (PSAK 14) adalah aset tersimpan, entah untuk digunakan sendiri (misal: bahan baku, barang dalam proses) atau untuk dijual ke pihak lain (misal: persediaan barang jadi), dalam kurun waktu operasional normal perusahaan.
Dasar penentuan nilai persediaan—yang saat ini dibatasi hanya dalam metode FIFO dan metode biaya rata-rata tertimbang (weighted-average cost)—harus disebutkan dengan jelas dalam “penjelasan laporan keuangan”. Khusus di perusahaan manufaktur, bahan baku, barang dalam proses, dan barang juga harus disclosed secara terpisah, entah itu di catatan kaki atau dalam “penjelasan laporan keuangan”.

5. Uang Muka Biaya (Biaya Dibayar Dimuka)
Sederhananya, “Uang Muka Biaya” (prepaid expenses) adalah aset yang timbul akibat pembayaran muka untuk biaya yang manfaatnya tidak habis terpakai dalam satu periode. Bisa juga disebut “Biaya Dibayar Dimuka.” Misalnya: sewa dibayar dimuka, asuransi dibayar dimuka, dan aset pajak tangguhan jangka pendek.

Klasifikasi Aset Tak Lancar Sesuai IFRS
Seperti PSAK 1, IAS 1 juga menggunakan istilah “tak lancar” (noncurrent) untuk aset berwujud dan tak berwujud—baik itu aset keuangan dan operasional—yang digunakan dalam jangka panjang. Baik PSAK 1 maupun IAS 1, sama-sama tidak mematok penggunaan istilah ini secara pasti. Artinya, entitas diperkenaankan untuk menggunakan istilah lain (“aset tetap/fixed asset” misalnya), sepanjang jelas dan lumrah digunakan, sehingga bisa dipahami oleh pengguna laporan keuangan.

Masuk ke dalam klasifikasi “Aset Tak Lancar’ antara lain:

1. Investasi Bersifat “Held-to-maturity”
Masuk dalam kelompok ini adalah instrument investasi yang disimpan hingga jatuh tempo, yang biasanya berjangka waktu panjang. Misalnya: efek hutang (debt securities), efek ekuitas, dan saham istimewa yang wajib ditebus oleh pihak lain (istilahnya “redeemed preferred shares“). Investasi jenis ini diukur pada biaya teramortisasi.

2. Property Investasi
Yang dimaksud dengan “Property Investasi” (investment property) adalah property (=tanah, bangunan/gedung) yang diperoleh bukan untuk digunakan dalam operasional perusahaan secara normal, melainkan untuk mendapat keuntungan tertentu, misalnya: dengan cara disewakan atau dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Property investasi, awalnya, diukur sebesar nilai perolehannya. Selanjutnya, seiring waktu, property investasi diukur entah dengan menggunakan metode fair value atau model pengukuran berdasarkan biaya perolehan.

Penggunaan property investasi bisa disebakan penggunaan tanah atau bangunan di daerah tertentu atau dalam kondisi tertentu bukan di anggap sebagai aktiva tetap atau fix asset. Penggunaan asset ini akan habis sejalan periode waktu (dengan ijin tertentu)

3. Tanah, Bangunan, Mesin dan Peralatan
Masuk dalam kelompok ini adalah bangunan, mesin dan peralatan, yang digunakan dalam operasional perusahaan guna menghasilkan barang/jasa, memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun buku.
Masuk dalam kelompok ini, antara lain: tanah, bangunan/gedung, mesin, peralatan, furniture, dan kendaraan.
Akumulasi penyusutan atas kelompok aset tak lancar ini harus disajikan dalam laporan keuangan atau di catatan kaki atau di bagian penjelasannya. Misalnya:
  • Bangunan                                                = xxx
  • Dikurangi akumulasi penyusutan = (xxx)
  • Nilai buku bangunan                          = xxx     Atau
  • Bangunan (net dari akumulasi Rp xxx) = xxx

Metode yang digunakan dalam menghitung penyusutan, harus disebutkan di bagian “penjelasan laporan keuangan”.
Hal ini penting dijelaskan dalam laporan keuangan, karena perubahan metode penyusutan yang sering atau dalam kondisi perusahaan tertentu tanpa dijelaskan alasan yang real, di khawatirkan merupakan satu bentuk kebijakan manajemen dengan tujuan earning manajemen.

4. Aset Tak Berwujud
“Aset Tak Berwujud” (intangible assets) adalah aset tak lancar perusahaan yang tidak memiliki wujud fisik, akan tetapi diharapkan akan mendatangkan manfaat—baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Masuk dalam klasifikasi ini adalah:
Aset tak berwujud yang bisa diidentifikasi (misal: goodwill); dan
Aset tak berwujud yang tidak bisa diidentifikasi (misal: merk dagang, patent, copyrights, dan biaya oragnisasional).
IAS 38  atau PSAK 19 mengharuskan perusahaan untuk mengamortisasi aset tak berwujud. Seperti halnya aset berwujud, akumulasi amortisasi aset tak berwujud-pun harus dinyatakan dengan jelas dalam laporan keuangan atau dicatatan kaki atau di bagian penjelasannya.
Aset takberwujud (Inggris: intangible asset) adalah aset nonmoneter teridentifikasi tanpa wujud fisik. Yaitu hak-hak istimewa, atau posisi yang menguntungkan guna menghasilkan pendapatan. Jenis utama aset tidak berwujud adalah hak cipta, hak eksplorasi dan eksploatasi, paten, merek dagang, rahasia dagang, dan goodwill. Aset jenis ini mempunyai umur lebih dari satu tahun (aset tidak lancar) dan dapat diamortisasi selama periode pemanfaatannya, yang biasanya tidak lebih dari 40 tahun. (wikipedia)

5. Aset Dimiliki Untuk Dijual
Sedikit mirip dengan property investasi, hanya saja “aset dimiliki untuk dijual” tidak harus direncanakan sejak awal. Jika perusahaan berencana untuk menjual sekelompok aset, mesikpun tadinya digunakan untuk operasional, maka aset tersebut harus diklasifikasikan sebagai “aset dimiliki untuk dijual”.
Menurut IFRS 5, “aset dimiliki untuk dijual” diukur sebesar nilai buku yang lebih rendah atau nilai wajar dikurangi ongkos penjualan.
Contohnya perusahaan real estate, yang menjual tanah dan rumah, apartement dan sebagainya



6. Aktiva Lain-lain
Segala aset tak lancar yang tidak bisa dimasukan ke dalam 5 klasifikasi di atas, masuk ke kelompok ini. Misalnya: “Uang Muka” yang baru akan habis dibiayakan dalam jangka waktu lama (panjang), “Aset Pajak Tangguhan” yang waktu pemulihannya lama atau tidak pasti.

Klasifikasi Liabilitas Jangka Pendek Sesuai IFRS
Suatu liabilitas (=kewajiban), menurut IAS 1, masuk klasifikasi “Jangka Pendek” (atau Lancar) apabila:
  • Diharapkan bisa diselesaikan (=dibayar/dilunasi) dalam kurun waktu operasional normal perusahaan; atau
  • Jatuh tempo dalam jangka waktu tidak lebih dari 12 bulan dari tanggal laporan posisi keuangan (=tanggal neraca); atau
  • Dimiliki untuk maksud diperdagangkan; atau
  • Entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian laibilitas selama sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.

Jika tak satupun diantara keempat kriteria di atas terpenuhi, maka suatu liabilitas diklasifikasikan sebagai “liabilitas jangka panjang”.

Masuk dalam klasifikasi liabilitas jangka pendek, antara lain:
1. Kewajiban yang timbul dari pembelian barang atau jasa yang digunakan dalam operasional normal perusahaan, diantaranya:
  • Utang Dagang / utang usaha
  • Utang Tertulis Jangka Pendek
  • Utang Upah dan Gaji Pegawai
  • Utang Pajak
  • Utang Lain-lain

2. Pembayaran diterima dimuka yang mengakibatkan timbulnya kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa di masa yang akan datang, misalnya:
  • Pendapatan Diterima Dimuka
  • Deposit Dari Pelanggan
  • Sewa Diterima Dimuka

3. Kewjiban lain yang akan jatuh tempo di periode berjalan, misalnya: promes yang akan segera jatuh tempo.
Lebih jauh lagi, laibilitas lainnya yang masuk klasifikasi jangka pendek adalah: liabilitas  tidak diselesaikan dalam siklus operasi normal tetapi jatuh tempo untuk diselesaikan dalam waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan atau dimiliki untuk tujuan diperdagangkan. Misalnya:
  • Liabilitas keuangan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan;
  • Cerukan bank;
  • Bagian jangka pendek dari laibilitas keuangan jangka panjang;
  • Dividen terutang;
  • Pajak penghasilan terutang; dan
  • Terutang nonusaha lainnya

Khusus “Liabilitas Keuangan”. IAS 1 mengijinkan perusahaan mengakui suatu liabilitas keuangan jangka pendek apabila liabilitas tersebut akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan, meskipun:
  • kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan; dan
  • perjanjian untuk pembiayaan kembali atau penjadwalan kembali pembayaran, atas dasar jangka panjang telah diselesaikan setelah periode pelaporan dan sebelum tanggal penyelesaian laporan keuangan.


Klasifikasi Liabilitas Jangka Panjang Sesuai IFRS
Kewajiban-kewajiban yang akan terselesaikan melebihi siklus operasional normal perusahaan masuk klasifikasi “Liabilitas Jangka Panjang”, antara lain:
  • Kewajiban yang timbul sebagai bagian dari strukturisasi modal perusahaan berjangka panjang, misalnya: pinjaman bank jangka panjang, promes, kewajiban sewa jangka panjang.
  • Kewajiban yang timbul tidak dari opersional normal perusahaan, misalnya: kewajiban premi pensiun, liabiltas pajak tangguhan yang penyelesaiannya belum diketahui secara pasti.

KORUPSI apa FRAUD...

Pada tulisan sebelumnya mengenai FRAUD yang sedikit penjelasannya, sebenarnya sudah di singgung mengenai korupsi.
Karena intinya korupsi adalah fraud yang berkenaan dengan kekayaan negara - kekayaan yang di miliki oleh seluruh rakyat . Sedangkan Fraud bisa dilakukan pada kekayaan organisasi atau perusahaan milik perseorangan atau perseroan. Persamaannya sama - sama dari sikap ketidak jujuran...

Terlampir link PDF UU Anti Korupsi


DEFINISI KORUPSI
Menurut WIKIPEDIA,

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.


Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:


  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah / pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.



SIAPA MENGHANDLE




Siapa yang menangani Korupsi, khususnya di Indonesia?
Akan dijawab  KPK
Siapa apa dan bagaimana KPK dalam kaitannya dengan tindak korupsi...

Terlampir penjelasan mengenai KPK dalam bentuk PDF

Seberapa jauh lembaga KPK yang merupakan salah satu lembaga fungsi staff dalam pemerintahan Indonesia memberikan kontribusi dalam pemberantasan korupsi. Yang tercatat dalam raport KPK ini yang tercatat saja.

Kamus ensiklopedia tentang tindakan korupsi di Indonesia.



BAGAIMANA SIH KORUPSI TERJADI
Apa yang menyebabkan korupsi, khsusnya yang terjadi di Indonesia dari sebuah karya ilmiah  studi literatur dari Universitas Sumatra Utara sedikit menjelaskan rinci mengenai apa korupsi, apa penyebabnya dan bagaimana tindakan yang sudah di ambil di Indonesia untuk menanganinya.


Sehingga pertanyaan di atas dijelaskan dalam kesimpulan bahwa,

  1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya. 
  2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. 
  3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai. 



Sebenarnya kita ngomong korupsi apa aktivitas riil dari korupsi... 
Aktivitas riil dalam korupsi  adalah sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.
Untuk Nepotisme di sini adalah termasuk penyalahgunaan wewenang untuk memberi kesempatan sendiri atau golongan tertentu yang merugikan negara.

Jelasnya dalam link blog berikut ini...




JEPANG versus KOREA_ 2

MANAGEMENT STRATEGI : 
Perang Pena mengenai declining beberapa industri Jepang_ Sony - Panasonic - Sharp - Sanyo - Tosiba versus rising bebrapa industri Korea_ LG - Samsung.

Sanggahannya,
Summary di bawah ini adalah
1) Kurangnya SDM pada angkatan kerja Jepang menimbulkan high cost pemeliharaan SDM dan kurangnya kemampuan regenerasi.
2)  Yendaka, nilai tukar uang Yen yang tinggi menyebabkan high cost untuk expor
3)   Harmony culture Error atau kesepakatan (hasil tidak salah
4)   Senioritas yang bagaimana yang d sanggah

Link Blog Di Sini :
http://www.yosibara.com/Rubrik-Indonesia/the-death-of-samurai-bag-1.html


Inti dari tulisan Bung Yodhia tersebut adalah, adanya pengumuman kerugian sampai trilyunan rupiah yang dialami oleh perusahaan elektronik Jepang, yaitu Sony, Panasonic dan Sharp, dan gambaran tentang limbungnya perusahaan perusahaan elektronik Jepang tersebut.
Lalu, Bung Yodhia mengemukakan ada 3 faktor yang membuat perusahaan elektronik Jepang tersebut ambruk, yaitu:
1. Harmony Culture Error
Bung Yodhia menyalahkan soal harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, akan tetapi didalam bahasannya, sebenarnya yang dipertanyakan adalah soal speed, atau dalam bahasa manajemen produksi umumnya dikenal sebagai LED TIME. Bung Yodhia menganggap bahwa proses product development di Jepang sangat lamban karena harus melalui kesepakatan
2. Seniority Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim promosi karyawan berdasarkan seniority atau urut kacang. Hal ini oleh Bung Yodhia dianggap sebagai penghambat product development.
3. Old Nation Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim manajemen Jepang yang seakan akan mempertahankan pekerja tua, dan menghambat professional muda untuk berkiprah di level atas perusahaan.
Apakah semuanya itu benar? Ijinkan saya mengulas satu persatu.
Mengenai trend ambruknya industri elektronik Jepang, atau bahkan mungkin akan menimpa seluruh perusahaan manufaktur Jepang.
Pada tahun 1991, saya sendiri sudah mulai melihat suatu gejala yang mungkin akan terjadi di Jepang, ketika saya melakukan pengamatan terhadap maraknya tenaga illegal di Jepang, yang berdatangan dari berbagai Negara, seperti Brazil, Peru, Iran, dan dari Italia juga ada saya temukan, kemudian Iran, India, Bangladesh, kemudian dari Asean termasuk Indonesia, yang secara illegal bekerja pada perusahaan perusahaan di Jepang. Di taman Ueno – Tokyo saja, saya menemukan lebih dari 3.000 orang tenaga kerja Indonesia yang bekerja secara illegal di Jepang.
Keadaan ini terjadi karena Jepang sudah mulai kekurangan tenaga kerja muda Jepang yang mau bekerja di pabrik. Generasi muda Jepang sudah mulai ogah bekerja bekerja di Pabrik, terutama pada panrik yang proses pekerjaannya mengandung unsur 3-K, yaitu Kitanai, Kiken, dan Kitsui.
Pada tahun 1993, saya mendapat penjelasan dari seseorang teman orang Jeoang di NIKKEIREN (semacam APINDO di Indonesia) bahwa NIKKEIREN terpaksa menganjurkan dunia usaha Jepang untuk mempekerjakan kembali para pensiunan mereka.
Pada tahun 1993 itu pula, ketika saya ngobrol dengan pemilik Guest House tempat saya menginap, saya sudah mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun kedepannya, ekonomi China akan menyalip ekonomi Jepang.
Ada 3 faktor pertimbangan saya mengemukakan hal tersebut, yaitu:
1. Jepang semakin kekurangan tenaga kerja.
2. Yendaka. Nilau tukar yen yang semakin tinggi, membuat harga barang ekspor mereka kalah bersaing harga di pasar internasional.
3. Gerakan ekonomi yang dinamis di China. Sedangkan Korea Selaran pada waktu itu masih “adem ayem” berupaya menguntit jejak Jepang.
Maka, berdasarkan apa yang saya saksikan sendiri, bukan hanya berdasarkan berita atau literatiur, ada 2 faktor dominan yang menekan dan membuat industri manufaktur Jepang menjadi limbung, yaitu:
A. Yendaka.
Pada satu sisi, kenaikan nilai tukar (kurs) yen menjadi kenikmatan yang tidak terduga bagi orang Jepang yang melakukan perjalanan atau bertugas di luar negeri Jepang.
Bayangkan, hanya dengan seharga 1 botol bir di night club Jepang, yaitu 10.000 yen, kalau mereka ke luar negeri, misalkan ke Indonesia dan dikurskan ke rupiah, cukup buat mereka untuk berleha leha sampai dini hari di Little Tokyo – Blok M – Jakarta, dengan didampingi oleh nona nona muda.
Itu pula sebabnya, para siswa SLTA Jepang, apabila pada libur musim panas mereka menyempatkan diri bekerja satu bulan dengan upah 120.000 yen, cukup longgar buat mereka untuk melakukan wisata ke luar negeri. Ke Bali, Singapore atau Hawai, hanya 60.000 yen  untuk perjalan 4 hari termasuk tiket pesawat dan hotel.
Ke AS, Kanada atau Eropah hanya 80.000 yen – 100.000 yen untuk perjalanan 4 hari – 6 hari.
Akan tetapi pada sisi lain, yendaka telah menindih dan menekan volume penjualan mereka di pasar internasional. Pada tahun 1993 saja, keluhan dunia usaha Jepang sudah memuncak, dan meminta pemerintah Jepang untuk melakukan sesuatu agar nilai yen tidak menembus dibawah 100 yen per 1 US dolar.
Beberapa tahun kemudian, nilau tukar yen sempat menurun, berkisar 120 yen per US dollar,  dan membuat dunia industri Jepang sedikit bernafas.
Akan tetapi sejak Obama naik panggung dan melakukan proteksi, nilai tukar yen kembali merangkak naik, dan dunia usaha Jepang menuding AS bermain tidak fair,
Hal inilah yang menggerus pangsa pasar produk Jepang di luar negeri, harga yang mahal. Bukan karena kualitas atau kecanggihan barang
Sebagai referensi dari analisa saya ini, dapat disimak Laporan Ekonomi Perdagangan Jepang,   pada tautan berikut http://financeroll.co.id/news/22254/berita-forex-perekonomian-jepang-kontraksi
Kalau Bung Yodhia mengatakan bahwa TOSHIBA akan menutup produksi notebooknya karena kalah kualitas, mari kita jujur melihat pasar notebook di Indonesia saja. Konsumen Indonesia masih sangat menggemari mereka TOSHIBA, akan tetapi banyak yang urung membeli karena masalah harga yang lebih mahal.
Eh!...tapi…. notebook buatan Korea ada nggak ya?
Mari bandingkan pada produk sepeda motor. Buatan Korea merek KYMCO ya? Ada nggak sih di jalanan?
Bandingkan pula pada automotive. Setelah mengeluarkan Lexus, Toyota sudah lama mengeluarkan mobil hybrid yang laris manis di AS, lalu automotive Korea sudah pada level mana? Mungkin Bung Yodhia bisa member gambaran, berapa besar pangsa pasar Daewoo dan Hyundai di AS. Karena di Indonesia kita semua sudah tahu.
B. Pertumbuhan penduduk yang negative serta perubahan perilaku pada generasi muda Jepang, menyebabkan dunia industri Jepang sulit mendapatkan tenaga kerja baru.
Faktor kedua dan memang merupakan hal yang paling dominan menjadi hambatan atau menjadi penyebab ambruknya industri di Jepang adalah masalah supply tenaga kerja, akibat pertumbuhan penduduk di Jepang yang terus menurun (negatif).
Sejak masa pertumbuhan ekonomi Jepang pada tahun 1960-1970-an, masyarakat Jepang sudah berKB, rata rata di setiap rumah, anak hanya 2 orang.
Memasuki era 80-an, seiring dengan bangkitnya ekonomi Jepang, yang membuka peluang lebih besar bagi kaum wanita menjadi wanita karir, membuat semakin banyak wanita Jepang yang ogah menikah dan melahirkan. Bahkan pada saat menikah pun, mulai ada tuntutan dari kaum wanita, tidak akan membuat anak, alias hidup untuk diri sendiri.
Satu hal yang lebih menarik bagi saya akhir akhir ini adalah, mulai muncul keluhan orang tua terhadap anak, yang karena kesibukannya dalam karir, sampai "mengabaikan" orang tua. 
Akibatnya sekarang ini ada semacam justifikasi di dalam masyarakat Jepang, buat apa melahirkan anak bila hanya menjadi "anak murtad" yang tidak perduli orang tua?
Situasi ini seakan akan melegalkan pendapat agar tidak membuat anak lagi di Jepang.
Yang lebih menarik lagi, menurut informasi yang saya rangkai dari berbagai sumber, sepertinya mulai ada pemikiran atau pertimbangan bagi pemerintah Jepang, untuk memberikan insentif bagi generasi muda yang mau menikah dan melahirkan anak.
Sebagaimana saya sebut diatas, sejak tahun 80-an itu pula, seiring dengan bangkitnya ekonomi Jepang, industri Jepang sudah mulai terseok seok karena kurangnya tenaga kerja di Jepang, Generasi muda Jepang mulai ogah bekerja pada perusahaan manufaktur yang proses pekerjaannya mengandung 3-K, yaitu Kitanai, Kikekn dan Kitsui. Akibatnya, industri industri yang proses pekerjaannya mengandung 3-K tersebut, mulai limbung dan bahkan mulai ada yang bergelimpangan.
Berbagai upaya telah dilakukan dengan bantuan pemerintah Jepang, mengundang anak anak muda keturunan Jepang dari Brazil dan Peru. Hal ini karena undang undang keimigrasian Jepang mengijinkan hal tersebut.  Dari Indonesia pun, bila ada hubungan darah dengan orang Jepang, dapat memperoleh visa masuk Jepang dan bekerja disana.
Ternyata hal itu pun tidak cukup, mereka mulai menampung bahkan tenaga tenaga ilegal dari Asia Tenggara, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Philippina dan Indonesia sendiri. 
Namun pada akhirnya, penggunaan tenaga tenaga ilegal dari berbagai Negara mulai dibatasi, karena masalah masalah kriminal yang ditimbulkan oleh tenaga ilegal tersebut.
Dengan gambaran tersebut kita dapat memahami, bahwa masalah yang paling krusial yang dihadapi oleh dunia industri atau dunia HR Management di Jepang adalah kurangnya tenaga kerja domestic, dan inilah yang menjadi faktor dominan yang membuat limbungnya industri Jepang.
Dan saya menduga duga, mungkin gejala inilah yang menginspirasi Dave Ulrich dalam pemikirannya yang terakhir, The Future HR, yang pada prinsipnya mengingatkan masalah pertumbuhan penduduk dalam perencanaan HR.
Sebagai gambaran, pada akhir tahun 1997, dalam satu rangkaian training, saya pernah diajak meninjau 3 lokasi pabrik yang cukup luas dengan puluhan bangunan yang besar besar. Begitu kami masuk ke dalam bangunan pabrik, yang ada hanyalah mesin mesin yang ditutupi plastik, tidak beroperasi dan tidak ada manusia. Saya lalu bertanya "mengapa begini?" Jawabannya adalah "tidak ada lagi orang Jepang yang mau kerja di pabrik seperti ini" Generasi muda Jepang sudah beranggapan bahwa hanya orang orang bodohlah yang mau bekerja di pabrik electronik.
Walau pun Jepang sudah melakukan relokasi pabrik mereka ke luar Jepang, seperti ke Indonesia, Malaysia, Vietnam dan lain lain, namun, mereka tetap saja kesulitan untuk mendapatkan tenaga teknisi muda untuk ditempatkan di Bagian R&D, untuk melakukan proses product development.
Hal ini karena generasi muda Jepang, khususnya yang berlatar belakang IT, lebih memilih membuka usaha sendiri daripada bekerja pada perusahaan. Hal ini dapat kita lihat dari berkembangna industri kreatif di Jepang. Semua dimotori oleh anak anak muda Jepang.
Hasil akhirnya adalah, dunia industri Jepang sebenarnya sudah hopeless untuk melanjutkan usaha industri elektronik, atau industri industri padat karya lainnya. Bilamana pun masih ada yang berlanjut, sebenarnya itu hanya untuk menampung orang orang yang masih bekerja saja.
Maka, kerugian yang dilaporkan oleh Sony, Panasonic dan Sharp, seharusnya dicermati, apakah kerugian tersebut karena business operasional mereka semata atau karena mereka sudah mulai melakukan golden shake hand kepada karyawan yang pensiun dini?
Bayangkan kalau ribuan karyawan, misalnya 3000 orang saja yang pensiun dini dengan menerima uang pensiun sebesar 60 bulan gaji dan gaji rata rata 250.000 yen,, maka dana yang harus digelontorkan untuk itu bisa mencapai 3.000 X 250.000 x 60 = 45 milyar yen, atau setara dengan 5,4 trilyun rupiah. Mungkin itulah kerugian yang dilaporkan. Dan kalau memang demikian, mereka (perusahaan) pasti buru buru mengumumkan dan membayarkannya sebelum jatuh tempo penghitungan dan pembayaran pajak!!!.
Dengan uraian diatas, tentu kita sudah mendapatkan gambaran yang sebenarnya, apa penyebab limbungnya industri elektronik Jepang, yang kemungkinan akan disusul pula oleh industri padat karya lainnya. Dan tentu itu pula yang menyebabkan harga saham mereka anjlok, karena semua berusaha menjual saham yang dimiliki.

Pada bagian satu saya sudah membeberkan, factor apa sesungguhnya yang menyebabkan dunia industri Jepang mengalami kesulitan dan sekarang ini mengalami limbung, yaitu:
Pertama: Faktor eksternal perusahaan, yaitu penjualan ekspor Jepang yang tergerus disebabkan nilai tukar yen yang tinggi sehingga harga produk Jepang menjadi mahal  dan tidak dapat bersaing dengan produk Korea, China atau produk Negara Negara berkembang lainnya.
Kedua: Supply tenaga kerja domestic sangat tidak mencukupi kebutuhan industri, dalam negeri, sehingga industri Jepang tidak bisa berproduksi secara maksimal (efisien).


Akan tetapi, Bung Yodhia mengemukakan bahwa yang menyebabkan ambruknya industri Jepang ada 3 faktor, yaitu:
1. Harmony Culture Error
Bung Yodhia menyalahkan soal harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, membuat kinerja manajemen Jepang menjadi lamban. Bung Yodhia menganggap bahwa Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch.di Jepang sangat lamban karena setiap pengambilan keputusan  harus melalui kesepakatan
2. Seniority Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim promosi karyawan berdasarkan seniority atau urut kacang. Hal ini oleh Bung Yodhia dianggap sebagai penghambat product development.
3. Old Nation Error
Bung Yodhia menyalahkan sistim manajemen Jepang yang seakan akan mempertahankan pekerja tua, dan menghambat professional muda untuk berkiprah di level atas perusahaan.
Faktor pertama dan faktor kedua adalah adalah merupakan konsep manajemen Jepang, yang sering disebut sebagai “harta suci” dalam konsep HR Management di Jepang. Sedangkan faktor ketiga adalah anggapan bahwa tenaga kerja tua membuat kinerja perusahaan menjadi lamban.
Yang jelas, pada uraian saya di Bagian Kesatu, saya sudah menegaskan vahwa yang menyebabkan limbungnya indddustri di Jepang, bukanlah ketiga faktor ini,
Lalu, apakah ketiga faktor diatas, termasuk 2 faktor pertama yang merupakan konsep manajemen Jepang, bermasalah atau tidak, mari kita telaah lebih dalam.
Sanggahan Pertama: Harmony Culture Error? Salahnya dimana?
Terlebih dahulu, mari kita pilah ungkapan Bung Yodhia menjadi 2 hal, yaitu:
Ü Harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan.
Ü Speed yang lamban karena harus melalui kesepakatan.
Mengenai harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, apakah itu salah? Setiap manajemen pasti selalu berupaya membangun harmony di dalam perusahaan masing masing, dan itu sebabnya ada training Team Work, membangun synergy, manajemen konflik dan lain sebagainya.
Demikian pula dengan “kesepakatan”. Kesepakatan adalah faktor pendukung untuk kelancaran pekerjaan.
Seabagai contoh, kebetulan pada saat menulis ini saya menemukan pertanyaan dari seorang member diskusi Indonesia HR Forum “apakah ada peraturan/perundangan yang mengatur besaran jumlah tunjangan tidak tetap terhadap gaji Pokok?
Maka, jawaban atas pertanyaan tersebut tidak akan pernah lugas, selama tidak ada kesepakatan tentang makna dan batasan tentang “Gaji Pokok”, “Upah Pokok” dan “Upah Tetap”.
Kesepakatan itu sangat penting demi lancarnya setiap pekerjaan, dan untuk menghindari terjadinya kegagalan atau pelaksanaan yang melenceng (tidak sinkron). Dan sistim inilah salah satu faktor yang mendukung berhasilnya program “zero defect” di Jepang.
Kemudian tentang pengambilan keputusan gaya Jepang, yang membutuhkan waktu lebih lama
Saya tidak tahu sudah seberapa lama Bung Yodhia ini menggeluti perkembangan teori dan konsep manajemen?
Mengapa saya bertanya demikian?
Di Indonesia saja, menjelang tahun 80-an, dengan dimotori oleh LPPM - Jakarta, para praktisi dan akademisi manajemen di Indonesia sudah ramai membicarakan tentang konsep pengambilan keputusan gaya Jepang, yaitu "bottom up decision making".
Pada akhirnya, semua mengakui bahwa "ada kelebihan" dari konsep tersebut.
Saya membenarkan bahwa proses pengambilan keputusan gaya Jepang pasti memakan waktu yang lebih lebih lama, karena pada saat masih rencana saja, rencana keputusan tersebut harus disosialisasikan, dimintai pendapat dari semua pihak yang terkait, dan harus direvisi bila ada usulan yang lebih baik, semua proses ini melalui nemawashi dan uchi awase. Setelah semua sepakat, baru dilakukan persiapan dan pengaturan. Sampai disitu pun masih belum cukup, karena  hasil persiapan harus diverifikasi (check list). Setelah dipastikan tidak ada kesalahan atau kekurangan, barulah rencana dilaksanakan. Dansetelah itu? pelaksanaan akan bergerak sangat cepat, dan hamper dapat dipastikan akan berhasil mencapai sasaran.
Sedangkan pada pengambilan keputusan dengan proses top - down, seorang pimpinan, begitu bangun tidur pun, dalam sekejap, bisa mengambil keputusan "ah! pabrik harus dicat hijau semua!"
Dan setelah sampai di kantor, dia lalu memerintahkan kepada semua jajaran pimpinan menengah "hari ini pabrik harus kita cat menjadi hijau semua!". Apa yang terjadi?
· Seorang bertanya "kenapa harus dicat ulang pak?, mengapa harus hijau pak? mengapa harus semua pak?
· Yang lain lalu bertanya "bisakah ditunda sampai besok? orang saya hari ini banyak yang tidak masuk! mengapa harus hari ini pak?"
· Yang lain lagi mengajukan protes "Pak! tempat saya harus dicat merah karena tempat kerja saya adalah lokasi berbahaya!"
· Yang lain lagi protes "Pak! tempat saya harus dicat kuning untuk meminta semua berhati hati"
· Yang lain ngerundel "Ah! bos saya ini lagi mabuk kali, atau tadi malam gak dikasih kali!" dan lain lain dan lain lain.
Maka, untuk memulai pelaksanaan keputusan tersebut, pasti akan tertunda karena harus menjawab pertanyaan serta menjelaskannya,
Belum lagi keputusan tersebut akan dilaksanakan setengah hati, atau bahkan mungkin tidak dilaksanakan karena merasa protesnya tidak ditanggapi.

Kesimpulannya:
Total waktu yang dibutuhkan (Led Time), mulai dari pengambilan keputusan dengan gaya Jepang - sampai keputusan dilaksanakan sampai berhasil, pasti akan lebih cepat (singkat) ketimbang total waktu (led time) pada pengambilan keputusan gaya top - down - sampai rencana selesai dilaksanakan, dan malah sering kandas di tengah jalan (gagal)

Satu hal lagi adalah, keputusan gaya Jepang hampir tidak pernah gagal, kecuali karena ada faktor x, yang tidak terduga. Dan justru untuk menyelidiki kemungkinan yang tidak terduga itulah maka keputusan gaya Jepang menjadi lebih lama.

Kemudian, tentang speed dalam proses product development industri elektronik Jepang?
Sayang Bung Yodhia ini pasti belum pernah berkunjung ke Akihabara - Tokyo.
Akihabara adalah pusat retail elektronik di Tokyo dan umum disebut sebagai Electronic Town,, luasnya dapat saya gambarkan mulai dari Glodok - sampai Mangga dua di Jakarta
Di Akihabara para produsen berebut cepat untuk memperkenalkan apa yang akan mereka jual 3 - 6 bulan mendatang. Disana mereka memajang prototype barang produksi mereka yang akan di-launch 3 - 6 bulan mendatang.
Mengenai kecepatan proses kerja di dalam pabrik Jepang?
Saya tidak tahu dari mana Bung Yodhia ini mendapat bahan, sehingga mengatakan bahwa proses kerja orang Jepang lambat.
Jangankan bekerja pada level manajemen, bekerja di perusahaan Jepang pun saya kira Bung Yodhia belum pernah.
Mari tanya setiap orang yang pernah bekerja pada perusahaan Jepang, apakah mereka akan membenarkan pendapat Bung Yodhia?

Demikian sanggahan saya untuk faktor pertama yang dikemukakan oleh Bung Yodhia, yaitu tuduhan “Jepang yang lamban”
Sanggahan Kedua: Seniority Error?
Tidak ada satu pun konsep atau teori manajemen yang bisa kita katakan "baik secara absolut", dimana pun diterapkan, hasilnya pasti akan sama baiknya, Tetapi ulasan Bung Yodhia memperlihatkan bahwa dia sesungguhnya kurang memahami bagaimana manajemen Jepang



Dari perang di atas:
  1. sedikitnya SDM atau angkatan kerja di Jepang
  2. Yendaka, kurs Yen tinggi adalah high cost
  3. senioritas Jepang, spt umumnya adat ketimuran, yang tua yang senior yang lebih baik
  4. harmony culture bukanlah penghalang speed dalam mufakat
ada baiknya jika mengemukakan tema mengundang kontroversil dibuat lbh bertanggungajawab dan profesional. Mungkin dalam bentuk karya tulis penelitian atau studi literatur (ada bukti data). sehingga pembaca tidak mempertanyakan subyektifitas penulisan. Lebih bisa diterima 

JEPANG versus KOREA_1

MANAGEMENT STRATEGI : 
Perang Pena mengenai declining beberapa industri Jepang_ Sony - Panasonic - Sharp - Sanyo - Tosiba versus rising bebrapa industri Korea_ LG - Samsung.




Intinya ada beberapa kesalahan strategi perusahaan termasuk analisa SWOT perusahaan Jepang :
1) Harmony Culture Error : Kurangnya speed inovasi, terbentur budaya mufakat menyampaikan ide
2) Seniority Error : Budaya Jepang emnjunjung tinggi senioritas, bahwa yg lebih tua adalah yg paling mampu
3) Old Nation Error : Kurangnya SDM akibat sedikitnya angkatan tenaga kerja dan budaya pilih2 d antara kaum muda menyebabkan tidak mampu regenerasi SDM



Link Blog

http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/
Disalin sesuai aslinya

Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian

AUTOKORELASI



menurut WIKIPEDIA,


  • Autokorelasi (bahasa Inggris: autocorrelation atau yang juga disebut sebagai korelasi diri) adalah salah satu pelanggaran asumsi dalam regresi linier berganda.[1] Agar pendugaan parameter dapat bersifat BLUE (bahasa Inggris: best liniear unbiased estimator) maka dalam regresi linear berganda seharusnya tidak ada autokorelasi, yaitu nilai covarian antara pengamatan ke Ui dam Uj memiliki nilai korelasi sama dengan 0 untuk i ǂ j.[1]


Uji autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linier antara error serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series). Uji autokorelasi perlu dilakukan apabila data yang dianalisis merupakan data time series (Gujarati, 1993).

Dalam Uji autokorelas digunakan nilai dari Durbin Watson, dengan rumusan seperti di bawah ini. Jika nilai Durbin Watson kemudian dibandingkan dengan nilai d-tabel. Hasil perbandingan akan menghasilkan kriteria sebagai berikut :


1. Jika d <  dl, berarti terdapat autokorelasi positif
2. Jika d > (4 – dl), berarti terdapat autokorelasi negatif
3. Jika du < d < (4 – dl), berarti tidak terdapat autokorelasi
4. Jika dl < d < du atau (4 – du), berarti tidak dapat disimpulkan



di sini dapat di unduh daftar durbin watson DAFTAR DURBIN WATSON



DULUAN APA NERACA or LABA RUGI??

Baru saja kudengar sebuah diskusi mengenai hal itu ketika secara gak sengaja menjemur cucian di sekitar rumah. Padahal kupikir mereka sudah lulus S1 akuntansi. Mengapa masih bingung.?



DEFINISI NERACA menurut Wikipedia

Di dalam akuntansi keuangan, Neraca atau laporan posisi keuangan (bahasa Inggris: balance sheet atau statement of financial position) adalah bagian dari laporan keuangan suatu entitas yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menunjukkan posisi keuangan entitas tersebut pada akhir periode tersebut. Neraca terdiri dari tiga unsur, yaitu aset, liabilitas, dan ekuitas yang dihubungkan dengan persamaan akuntansi berikut:
aset = liabilitas + ekuitas
Informasi yang dapat disajikan di neraca antara lain posisi sumber kekayaan entitas dan sumber pembiayaan untuk memperoleh kekayaan entitas tersebut dalam suatu periode akuntansi (triwulanan, caturwulanan, atau tahunan).

Pernyataan Standar akuntansi
Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia disebutkan di dalam neraca:
  • Perusahaan menyajikan aset lancar terpisah dari aset tidak lancar dan kewajiban jangka pendek terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk industri tertentu diatur dalam PSAK khusus. Aset lancar disajikan menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo.
  • Perusahaan harus mengungkapkan informasi jumlah setiap aset yang akan diterima dan kewajiban yang dibayarkan sebelum dan sesudah dua belas bulan dari tanggal neraca.
  • Apabila perusahaan menyediakan barang atau jasa dalam siklus operasi perusahaan yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka klasifikasi aset lancar dan tidak lancar serta kewajiban jangka pendek dan jangka panjang dalam neraca memberikan informasi yang bermanfaat dengan membedakan aset bersih sebagai modal kerja dengan aset yang digunakan untuk operasi jangka panjang.


DEFINISI LAPORAN RUGI LABA  menurut Wikipedia

Laporan laba rugi (Inggris:Income Statement atau Profit and Loss Statement) adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan dan beban perusahaan sehingga menghasilkan suatu laba (atau rugi) bersih.
Unsur-unsur laporan laporan laba rugi biasanya terdiri dari:
  1. Pendapatan dari penjualan
  2. Dikurangi Beban pokok penjualan
  3. Laba/rugi kotor
  4. Dikurangi Beban usaha
  5. Laba/rugi usaha
  6. Ditambah atau dikurangi Penghaslan/beban lain
  7. Laba/rugi sebelum pajak
  8. Dikurangi Beban pajak
  9. Laba/rugi bersih

Sebenarnya penjelasan di atas tidak cukup jelas bagi yang pengen tahu lebih jauh. Tapi cukuplah. Thats my note :

Pada Neraca :

  1. Mempunyai 2 (dua ) sisi pasiva dan aktiva. Sisi aktiva menggambarkan aktivitas operasional perusahaan. Mulai dari beraktivitas yang paling lancar berupa kas, sampai aktivitas yang paling tidak bisa lancar. Sisi pasiva menggambarkan sumber dana yang dipunyai perusahaan dalam usaha itu. Mulai dari dana yang di pinjami pihak lain dalam bentuk bahan mentah, yaitu hutang usaha yg bersifat lancar. Dana yg dipinjami pihak lain untuk kucuran kas sebagai pinjaman lancar (kredit modal kerja) maupun pinjaman jangka panjanguntuk berinvestasi (kredit investasi). Terakhir adalah modal yang dimiliki pemilik dalam usaha tersebut.
  2. Periode pada neraca tidak menghapus saldo sebelumnya, hanya menggambarkan perubahannya. Artinya terus menerus going concern. Perubahan neraca pada akhir periode secara bulanan ; caturwulan ; tahunan. Sesuai kepentingan. Dilakukan pada saat posting jurnal ke neraca (step pada siklus akuntansi)
  3. Merekam seluruh transaksi akuntansi

Pada Rugi Laba :
  1. Seperti di atas terlihat yang mengumpulkan penjualan dalam periode di maksud; yang mengumpulkan cost dan expense pada periode di maksud. Adalah rekening - rekening dalam rugi laba
  2. Periode pada rugi laba hanya menyajikan jumlah saldo periode yang di maksud saja. Artinya jika periode tahunan, maka Laba rugi hanya pada periode yang di sebut yang di tampilkan.
  3. Rekening - rekening pada laba rugi merekam semua catatan  transaksi keuangan

Masih ingatkan beda transaksi keuangan dan transaksi akuntansi? 
masih ingatkan bagaimana siklus akuntansi?

Dari penjelasan di atas, untuk pertanyaan, 'duluan mana neraca dan  rugi laba' , apakah sudah mampu menjawab.