Neraca , Klasifikasi Aset dan Liabilitas Sesuai IFRS


diambil dari : jurnal akuntansi

Khususnya di perusahaan publik, urusan klasifikasi aset dan liabilitas, dalam neraca, bisa menjadi sumber tantangan tersendiri, terutama bagi perusahaan yang menerpakan pelaporan keuangan sesuai IFRS untuk pertamakalinya. Misalnya: transaksi apa saja yang masuk pos “setara kas’? Apakah sertifikat deposito masuk klasifikasi kas?
Di perusahaan yang berstatus non-publik, terutama bagi pemula, mengklasifikasikan transkasi masih menjadi kesulitan utama—“transaksi ini masuk ke akun mana?” masih menjadi pertanyaan yang paling sering dilontarkan.

Ada 2 alasan mengapa klasifikasi aset dan liabilitas sangat penting untuk dipahami oleh akuntan—baik yang menangani perusahaan publik maupun non-publik:

  • Mengklasifikasikan transaksi apapun itu (termasuk aset dan liabilitas) adalah salah satu langkah penting dalam siklus akuntansi. Salah mengklasifikasikan transaksi bisa mengakibatkan salah-saji yang bersifat material pada laporan keuangan.
  • Aset dan liabilitas adalah 2 kelompok akun utama, dalam laporan posisi keuangan (alias “Neraca”), yang menampung sebagian besar transaksi di dalam perusahaan. Bisa dibilang, sebagian besar transaksi masuk kelompok aset dan liabilitas. Alangkah kacaunya laporan keuangan bila klasifikasi kedua kelompok akun ini kacau-balau.

Salah saji adalah kesalahan material  pada pelaporan keuangan mengacu pada pengertian bahwa keputusan pengguna laporan keuangan akan terpengaruh/terkecoh oleh ketidakakuratan informasi yang terjadi karena salah saji tersebut. 

Bagaimana Laporan Posisi Keuangan Disajikan (Sesuai IFRS)?
Seperti sudah disampaikan di awal, kelompok aset dan liabilitas adalah komponen utama Neraca, selain “ekuitas pemilik” (shareholder’s equity).

Neraca, secara umum, menyajikan informasi (baca: laporan) mengenai kekayaan perusahaan dan klaim-klaim sehubungan dengan kekayaan tersebut. Klaim dalam hal ini, bisa berupa utang atau kepemilikan saham oleh pihak luar (kreditur dan pemegang saham).
Secara konseptual, penyajian laporan keuangan (termasuk penyajian aset dan liabilitas), diatur dalam “Kerangkerja IASB”. Sedangkan teknisnya diatur dalam “IAS 1”. Untuk kita di Indonesia, ketentuan yang sama dituangkan dalam PSAK 1.
Barangkali ada yang belum tahu, sejak revisi IAS 1, judul laporan “Neraca” berubah menjadi “Laporan Posisi Keuangan” (Statement of Financial Position). Menurut IASB, istilah “laporan posisi keungan” lebih mewakili fungsi yang sesungguhnya. Sementara “Neraca”, meskipun mewakili konsep ‘double-entry’—dimana sisi debit dan kredit harus selalu dalam kondisi seimbang (=balance)—tidak cukup deskriptip menyebutkan informasi apa yang disajikan di dalamnya.


Lain daripada itu, menurut IASB, istilah “posisi keuangan” telah lama digunakan oleh kalangan auditor di seluruh dunia sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sebelum IFRS lahir.
Pertimbangan-pertimbangan itulah mengapa istilah “Neraca” digantikan dengan “Laporan Posisi Keuangan”.
Catatan: IASB singkatan dari “International Accounting Standard Board”, sebuah badan khusus, bermarkas di London (Inggris) sana, yang menyusun standar akuntansi internasional yang rencananya diberlakukan diseluruh negara di dunia (meskipun belum semua negara menerapkan IFRS, sampai saat ini, termasuk AS dan Jepang).
Kembali ke penyajian “laporan posisi keuangan” (alias Neraca) menurut Kerangkakerja IASB dan IAS 1. Untuk disajikan dalam laporan keuangan, suatu even ekonomis (=transaksi) harus memenuhi ketentuan mengenai: definisi, pengukuran, dan pengakuan, seperti yang tertuang dalam dalam Kerangkakerjanya IASB.
Laporan Posisi Keuangan (Neraca), secara ringkas, disajikan sebagai berikut:


  • Aset                 = Rp xxx
  • Liabilities         = Rp xxx
  • Ekuitas Pemilik  = Rp xxx

Dimana,
Aset = Liabilitas + Ekuitas Pemilik
Penyajian aset, menurut IAS 1, dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

  1. Aset Lancar (current assets); dan
  2. Aset Tak Lancar (noncurrent assets)

Liabilitas-pun dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu:

  1. Liabilitas Lancar (current liabilities); dan
  2. Liabilitas Tak Lancar (noncurrent liabilities)

Catatan: Sedikit berbeda dengan IAS 1 (IFRS aslinya), dalam PSAK 1 liabilitas dibagi menjadi (1) liabilitas jangka pendek; dan (2) liabilitas jangka panjang. Menurut saya pribadi, penggunaan “jangka panjang” dan “jangka pendek” khusus untuk liabilitas, lebih pas. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah ini—meskipun ini ulasan mengenai IFRS (IAS 1).
Selanjutnya mari kita lihat, pengklasifikasian untuk masing-masing kelompok—baik aset maupun liabilitas.

Klasifikasi Aset Lancar Sesuai IFRS
Suatu aset diklasifikasikan ke dalam kelompok “aset lancar” apabila memenuhi salahsatu kriteria berikut ini:

  • Dalam bentuk kas atau setara-kas yang penggunaannya tidak dibatasi (untuk menyelesaikan laibilitas sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan); atau
  • Diharapkan dapat direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan dari tanggal laporan posisi keuangan (=tanggal neraca); atau
  • Diharapkan dapat direalisasikan, baik digunakan/dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual kepada pihak lain, dalam “siklus operasi normal” perusahaan; atau
  • Dimiliki untuk maksud diperdagangkan

Jika tak satupun dari keempat kriteria di atas terpenuhi, maka suatu aset diklasifikasikan ke dalam kelompok “aset tak lancar”.
Kiranya perlu disadari bahwa, yang dimaksud dengan “siklus operasi normal” pada salahsatu kriteria di atas adalah: RENTANG WAKTU sejak perolehan (=pembelian) aset, diproses (jika ada), hingga dapat direalisasikan atau diubah ke dalam bentuk bentuk kas atau setara kas (bahasa awamnya = terjual).

Note: PSAK 1 menambah bahwa, “ketika siklus operasi normal entitas tidak dapat diidentifikasikan secara jelas, maka diasumsikan selama 12 bulan.”
Itu sebabnya mengapa “persediaan” dan “piutang” masuk kelompok aset lancar, meskipun belum tentu dapat direalisasikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal laporan.
Khusus untuk aset lancar yang tidak bisa direalisasikan dalam jangka 12 bulan setelah tanggal pelaporan, IAS 1 memandatkan agar nilai (=amount) yang diperkirakan baru bisa direalisasika di tahun buku berikutnya, dijelaskan lebih rinci di dalam “penjelasan laporan keuangan”—istilahnya “disclosed”.

Menggunakan ketentuan di atas, maka yang bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok aset lancar adalah item-item berikut ini:

1. Kas dan Setara Kas
Kunci pemahamannya sederhana: apapun yang BISA DITABUNG DI BANK dan BISA DITARIK DALAM WUJUD KAS SEWAKTU-WAKTU, dianggap “KAS“.Misalnya: uang kertas, koin, check yang belum diuangkan, termasuk kas yang sudah tersimpan di bank. Sedangkan sertifikat deposito, BUKAN KAS, sebab ada pembatasan jangka waktu penarikan.
Untuk bisa diklasifikasikan sebagai “aset lancar” kas harus tersedia untuk digunakan. Menurut IAS 1, kas yang disimpan tidak untuk digunakan dalam periode ini atau penggunaannya dibatasi dan belum akan boleh digunakan dalam siklus operasional normal, TIDAK diklasifikasikan sebagai aset lancar.
Sedangkan yang diklasifikasikan ke dalam pos “Setara Kas” (cash equivalents), menurut   IAS 7 (PSAK no.02), adalah investasi jangka-pendek bersifat likuid yang (1) siap diuangkan dengan nilai pasti; dan (2) sudah mendekati masa jatuh tempo pencairan (biasanya memiliki jangka waktu pencairan 3 bulan atau kurang), tidak memiliki risiko perubahan nilai yang signifikan—akibat perubahan suku bunga. Misalnya:treasury bills, commercial paper, dan reksadana pasar uang.

2. Investasi Jangka-Pendek Untuk Diperdagangkan
Insrumen investasi yang dimaksudkan untuk dijual kembali dalam jangka pendek—guna memperoleh keuntungan—masuk kelompok “aset lancar”. Masuk kelompok ini antara lain: efek sekuritas dan sekuritas ekuitas yang dibeli untuk maksud diperjualbelikan. Aset derivative keuangan, rata-rata masuk dalam kelompok ini, kecuali yang dimaksudkan untuk tujuan pemagaran (hedging).

3. Piutang Dagang (Piutang)
“Piutang Dagang” atau “Piutang” saja (accounts receivable), adalah sejumlah tagihan kepada pelanggan yang timbul dari operasional normal perusahaan.
Masuk dalam kelompok ini antara lain: piutang pada pelanggan (piutang usaha), piutang pada perusahaan afiliasi, piutang pada karywan (staf, manager, eksekutif). Jika ada cadangan piutang atau penurunan nilai piutang akibat adanya diskon, retur penjualan, dan piutang tak tertagih, harus dirinci dalam “penjelasan laporan keuangan”.

4. Persediaan
“Persediaan” (inventory), menurut IAS 2, (PSAK 14) adalah aset tersimpan, entah untuk digunakan sendiri (misal: bahan baku, barang dalam proses) atau untuk dijual ke pihak lain (misal: persediaan barang jadi), dalam kurun waktu operasional normal perusahaan.
Dasar penentuan nilai persediaan—yang saat ini dibatasi hanya dalam metode FIFO dan metode biaya rata-rata tertimbang (weighted-average cost)—harus disebutkan dengan jelas dalam “penjelasan laporan keuangan”. Khusus di perusahaan manufaktur, bahan baku, barang dalam proses, dan barang juga harus disclosed secara terpisah, entah itu di catatan kaki atau dalam “penjelasan laporan keuangan”.

5. Uang Muka Biaya (Biaya Dibayar Dimuka)
Sederhananya, “Uang Muka Biaya” (prepaid expenses) adalah aset yang timbul akibat pembayaran muka untuk biaya yang manfaatnya tidak habis terpakai dalam satu periode. Bisa juga disebut “Biaya Dibayar Dimuka.” Misalnya: sewa dibayar dimuka, asuransi dibayar dimuka, dan aset pajak tangguhan jangka pendek.

Klasifikasi Aset Tak Lancar Sesuai IFRS
Seperti PSAK 1, IAS 1 juga menggunakan istilah “tak lancar” (noncurrent) untuk aset berwujud dan tak berwujud—baik itu aset keuangan dan operasional—yang digunakan dalam jangka panjang. Baik PSAK 1 maupun IAS 1, sama-sama tidak mematok penggunaan istilah ini secara pasti. Artinya, entitas diperkenaankan untuk menggunakan istilah lain (“aset tetap/fixed asset” misalnya), sepanjang jelas dan lumrah digunakan, sehingga bisa dipahami oleh pengguna laporan keuangan.

Masuk ke dalam klasifikasi “Aset Tak Lancar’ antara lain:

1. Investasi Bersifat “Held-to-maturity”
Masuk dalam kelompok ini adalah instrument investasi yang disimpan hingga jatuh tempo, yang biasanya berjangka waktu panjang. Misalnya: efek hutang (debt securities), efek ekuitas, dan saham istimewa yang wajib ditebus oleh pihak lain (istilahnya “redeemed preferred shares“). Investasi jenis ini diukur pada biaya teramortisasi.

2. Property Investasi
Yang dimaksud dengan “Property Investasi” (investment property) adalah property (=tanah, bangunan/gedung) yang diperoleh bukan untuk digunakan dalam operasional perusahaan secara normal, melainkan untuk mendapat keuntungan tertentu, misalnya: dengan cara disewakan atau dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Property investasi, awalnya, diukur sebesar nilai perolehannya. Selanjutnya, seiring waktu, property investasi diukur entah dengan menggunakan metode fair value atau model pengukuran berdasarkan biaya perolehan.

Penggunaan property investasi bisa disebakan penggunaan tanah atau bangunan di daerah tertentu atau dalam kondisi tertentu bukan di anggap sebagai aktiva tetap atau fix asset. Penggunaan asset ini akan habis sejalan periode waktu (dengan ijin tertentu)

3. Tanah, Bangunan, Mesin dan Peralatan
Masuk dalam kelompok ini adalah bangunan, mesin dan peralatan, yang digunakan dalam operasional perusahaan guna menghasilkan barang/jasa, memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun buku.
Masuk dalam kelompok ini, antara lain: tanah, bangunan/gedung, mesin, peralatan, furniture, dan kendaraan.
Akumulasi penyusutan atas kelompok aset tak lancar ini harus disajikan dalam laporan keuangan atau di catatan kaki atau di bagian penjelasannya. Misalnya:
  • Bangunan                                                = xxx
  • Dikurangi akumulasi penyusutan = (xxx)
  • Nilai buku bangunan                          = xxx     Atau
  • Bangunan (net dari akumulasi Rp xxx) = xxx

Metode yang digunakan dalam menghitung penyusutan, harus disebutkan di bagian “penjelasan laporan keuangan”.
Hal ini penting dijelaskan dalam laporan keuangan, karena perubahan metode penyusutan yang sering atau dalam kondisi perusahaan tertentu tanpa dijelaskan alasan yang real, di khawatirkan merupakan satu bentuk kebijakan manajemen dengan tujuan earning manajemen.

4. Aset Tak Berwujud
“Aset Tak Berwujud” (intangible assets) adalah aset tak lancar perusahaan yang tidak memiliki wujud fisik, akan tetapi diharapkan akan mendatangkan manfaat—baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Masuk dalam klasifikasi ini adalah:
Aset tak berwujud yang bisa diidentifikasi (misal: goodwill); dan
Aset tak berwujud yang tidak bisa diidentifikasi (misal: merk dagang, patent, copyrights, dan biaya oragnisasional).
IAS 38  atau PSAK 19 mengharuskan perusahaan untuk mengamortisasi aset tak berwujud. Seperti halnya aset berwujud, akumulasi amortisasi aset tak berwujud-pun harus dinyatakan dengan jelas dalam laporan keuangan atau dicatatan kaki atau di bagian penjelasannya.
Aset takberwujud (Inggris: intangible asset) adalah aset nonmoneter teridentifikasi tanpa wujud fisik. Yaitu hak-hak istimewa, atau posisi yang menguntungkan guna menghasilkan pendapatan. Jenis utama aset tidak berwujud adalah hak cipta, hak eksplorasi dan eksploatasi, paten, merek dagang, rahasia dagang, dan goodwill. Aset jenis ini mempunyai umur lebih dari satu tahun (aset tidak lancar) dan dapat diamortisasi selama periode pemanfaatannya, yang biasanya tidak lebih dari 40 tahun. (wikipedia)

5. Aset Dimiliki Untuk Dijual
Sedikit mirip dengan property investasi, hanya saja “aset dimiliki untuk dijual” tidak harus direncanakan sejak awal. Jika perusahaan berencana untuk menjual sekelompok aset, mesikpun tadinya digunakan untuk operasional, maka aset tersebut harus diklasifikasikan sebagai “aset dimiliki untuk dijual”.
Menurut IFRS 5, “aset dimiliki untuk dijual” diukur sebesar nilai buku yang lebih rendah atau nilai wajar dikurangi ongkos penjualan.
Contohnya perusahaan real estate, yang menjual tanah dan rumah, apartement dan sebagainya



6. Aktiva Lain-lain
Segala aset tak lancar yang tidak bisa dimasukan ke dalam 5 klasifikasi di atas, masuk ke kelompok ini. Misalnya: “Uang Muka” yang baru akan habis dibiayakan dalam jangka waktu lama (panjang), “Aset Pajak Tangguhan” yang waktu pemulihannya lama atau tidak pasti.

Klasifikasi Liabilitas Jangka Pendek Sesuai IFRS
Suatu liabilitas (=kewajiban), menurut IAS 1, masuk klasifikasi “Jangka Pendek” (atau Lancar) apabila:
  • Diharapkan bisa diselesaikan (=dibayar/dilunasi) dalam kurun waktu operasional normal perusahaan; atau
  • Jatuh tempo dalam jangka waktu tidak lebih dari 12 bulan dari tanggal laporan posisi keuangan (=tanggal neraca); atau
  • Dimiliki untuk maksud diperdagangkan; atau
  • Entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian laibilitas selama sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.

Jika tak satupun diantara keempat kriteria di atas terpenuhi, maka suatu liabilitas diklasifikasikan sebagai “liabilitas jangka panjang”.

Masuk dalam klasifikasi liabilitas jangka pendek, antara lain:
1. Kewajiban yang timbul dari pembelian barang atau jasa yang digunakan dalam operasional normal perusahaan, diantaranya:
  • Utang Dagang / utang usaha
  • Utang Tertulis Jangka Pendek
  • Utang Upah dan Gaji Pegawai
  • Utang Pajak
  • Utang Lain-lain

2. Pembayaran diterima dimuka yang mengakibatkan timbulnya kewajiban untuk menyerahkan barang atau jasa di masa yang akan datang, misalnya:
  • Pendapatan Diterima Dimuka
  • Deposit Dari Pelanggan
  • Sewa Diterima Dimuka

3. Kewjiban lain yang akan jatuh tempo di periode berjalan, misalnya: promes yang akan segera jatuh tempo.
Lebih jauh lagi, laibilitas lainnya yang masuk klasifikasi jangka pendek adalah: liabilitas  tidak diselesaikan dalam siklus operasi normal tetapi jatuh tempo untuk diselesaikan dalam waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan atau dimiliki untuk tujuan diperdagangkan. Misalnya:
  • Liabilitas keuangan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan;
  • Cerukan bank;
  • Bagian jangka pendek dari laibilitas keuangan jangka panjang;
  • Dividen terutang;
  • Pajak penghasilan terutang; dan
  • Terutang nonusaha lainnya

Khusus “Liabilitas Keuangan”. IAS 1 mengijinkan perusahaan mengakui suatu liabilitas keuangan jangka pendek apabila liabilitas tersebut akan jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan, meskipun:
  • kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan; dan
  • perjanjian untuk pembiayaan kembali atau penjadwalan kembali pembayaran, atas dasar jangka panjang telah diselesaikan setelah periode pelaporan dan sebelum tanggal penyelesaian laporan keuangan.


Klasifikasi Liabilitas Jangka Panjang Sesuai IFRS
Kewajiban-kewajiban yang akan terselesaikan melebihi siklus operasional normal perusahaan masuk klasifikasi “Liabilitas Jangka Panjang”, antara lain:
  • Kewajiban yang timbul sebagai bagian dari strukturisasi modal perusahaan berjangka panjang, misalnya: pinjaman bank jangka panjang, promes, kewajiban sewa jangka panjang.
  • Kewajiban yang timbul tidak dari opersional normal perusahaan, misalnya: kewajiban premi pensiun, liabiltas pajak tangguhan yang penyelesaiannya belum diketahui secara pasti.

0 komentar:

Posting Komentar