PENGHAPUSAN PIHUTANG

source : http://triyani.wordpress.com/2009/06/29/penghapusan-piutang-menurut-pajak/



Biaya Kerugian Penghapusan Piutang menurut pajak

Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-undang PPh mengatur bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat tertentu) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses). Syarat-syarat yang ditetapkan agar biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah sbb :

A). telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
~ Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
~ telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
~ syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh;

Dalam penjelasan pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh dijelaskan bahwa : Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.

Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya”.

Berdasarkan penjelasan pasal 6 ayat 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan agar piutang yang nyata-nyata tidak dapat dihapus dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah untuk membuktikan bahwa wajib pajak (kreditur) telah melakukan upaya yang maksimal atau terakhir dalam melakukan penagihan piutangnya.

Sebagai petunjuk pelaksanaan dari pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh, pada tanggal 10 Juni 2009 Menteri Keuangan telah menetapkan PMK-105/PMK.03/2009 (“PMK-105”) tentang “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto” yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009.

Berikut ini hal-hal yang diatur dalam PMK-105 tersebut :
1) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
3) Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi :

a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya Yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan Himpunan Bank-Bnak Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia.

4) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.

5) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
6) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan :

a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.

7) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

8 ) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK-105 (Point 5 huruf c diatas) dilakukan dengan cara melampirkan :

a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapukan yang disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh kreditur.

9) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.



Penghapusan Piutang Debitur Kecil

1) Untuk dapat membebankan biaya kerugian piutang (Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih) atas debitur kecil dan debitur kecil lainnya tidak diperlukan syarat-syarat seperti tersebut pada point 5 diatas.
2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:

a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tanu (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiaya usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

3) Piutang yang nyata-nyata tidak ditagih kepada debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Catatan :

Entah kenapa syarat yang menurut pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh tertulis “telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial” dalam PMK-105 berubah menjadi “telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan”

Bagi kreditur, untuk membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial salah satunya dapat dilakukan dengan menunjukkan laporan laba-rugi komersial. Hal ini tentu relative lebih mudah dibandingkan dengan membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan.

Dalam PMK-105 juga tidak disebutkan bagaimana caranya kreditur membuktikan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur. Apakah kreditur wajib meminta laporan keuangan debitur? Atau dengan cara lain? Bagaimana jika debitur adalah WP orang pribadi yang tidak melakukan pembukuan?



12 Komentar »

A) saya kira cukup dengan perjanjian antara kreditur dan debitur itu mba.

Komentar oleh raden suparman | Juli 3, 2009 | Balas

B) Saya ada pengalaman untuk mengurus ini. Memang, sebenarnya lebih enak jika bisa dibuat perjanjian. Namun ada kalanya debitur yang tidak mau, apalagi yang “melek” pajak, karena penghapusan itu akan menimbulkan pajak penghasilan bagi dia.

Dulu saya pernah mengurus sebelum ada PMK 105 ini, sehingga alternatif nya adalah mendaftarkannya ke pengadilan negeri (jakarta Pusat), yang matre nya minta ampun.

Yang saya mau tanya: sekarang kan pilihannya banyak, either dengan perjanjian ATAU pengumuman ATAU pengakuan ATAU pendaftaran ke pengadilan. Kesimpulannya, alternatif jika debitur benar2 tidak kooperatif, bisa dengan pengumuman saja dong, tanpa perlu berurusan dengan pengadilan??

Ada yg sudah punya pengalaman??

Komentar oleh Andika | Juli 27, 2009 | Balas

C) hehehe…
Thanks Pak Raden :)
Adakalanya penghapusan piutang dilakukan secara sepihak karena berbagai kondisi.
Misalnya Debitur sudah dilikuidasi dan tidak bisa diketemukan lagi sehingga membuat perjanjian antara Kreditur dan Debitur tidak bisa dilakukan.

Dalam PMK-105, Syarat adanya perjanjian hanyalah merupakan opsi bagi kreditur. Jika tidak ada perjanjian bisa dengan cara mendaftarkan perkara penagihannya ke PN/BUPLN, atau dengan cara mempublikasikannya di Media.

Menurut saya tidak tepat penggunaan syarat ‘sudah dibukukan sbg penghasilan oleh debitur’ untuk dapat memperhitungkan sebagai pengurang penghasilan.

Semestinya hal itu adalah pekerjaan DJP untuk “mengejar” Wajib Pajak yang hutangnya telah diapuskan oleh kreditur -berdasarkan daftar nominative- agar diketahui apakah penghasilan dari penghapusan hutang tsb sudah dilaporkan atau belum, PPh yang terutang sudah dibayar atau belum. Bukan dengan cara melempar tanggung jawab ke kreditur :D

PS : Saya tadi coba post koment di blog pak Raden kok ga bisa2 yah.. jd saya post disini aja :)

Komentar oleh triyani | Juli 3, 2009 | Balas

D) Trim,s Mbak Tri “Salam Kenal”

Dari Tulisan Yang berjudul ” Diaya Kerugian Penghapusan Piutang Menurut Pajak ” Cukup Bagus Kalau boleh komentar
Masih beberapa tulisan yang salah artinya edittingnya masih kurang, atau dari tata bahasanya ada berapa huruf yang merupakan awal kalimat harusnya huruf Kapital tetapi huruf biasa. Ada yang kami pikir sangat penting adalah sumber sebagai Legalitas dari isi tulisan yaitu ” Sumber
atau PUSTAKA ” supaya dicantumkan Sumbernya dengan jelas.
Memang dari tulisan ini kelihatan dari UU perpajagan tapi tidak dicantumkan dengan tegas trim,s .din

Komentar oleh much | Juli 24, 2009 | Balas

E) aku blogger baru, porjo juga, salam kenal yaaaaaaaaaaaaaaaaa, kunjung balik yah

Komentar oleh mas doyok | Juli 26, 2009 | Balas

F) salam kenal mbak Tri, saya mau nanya mbak kalau penghapusan piutang karyawan apakah juga diperbolehkan (misal jumlah yang dihapus Rp 32 juta) apakah bisa dikategorikan sebagai debitur kecil ya mbak ?

Trims,
from dewey sda

Komentar oleh Dewey | Agustus 26, 2009 | Balas

G) Siang Mbak Triyani, salam kenal..saya Yoga, tinggal di denpasar, kebetulan saya search tentang pertanyaan saya tentang PMK 105 yang baru khususnya pasal 3 ayat 1(a) yang agak bingung bacanya..gimana caranya kita mebuktikan bahwa AP itu dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur..memangnya mereka perusahaan khusus pengempalng hutang?(saya asumsikan ini subject pastinya badan ya..)Atau saya yang mengartikannya beda.
Senang sekali bila bisa komunikasi langsung..lewat blog saya agak gaptek nih..mungkin by email. Saya masih belajar tentang pajak, perlu rekan diskusi nih kalau ada masalah. Thanks ya..saya bisa di email langsung di yoga@courts.co.id.

Salam
Yoga

>> Salam Kenal. iya, saya jg mempertanyakan hal yang sama :)

Komentar oleh Yoga | Oktober 15, 2009 | Balas

H) Siang Mbak Triyani, salam kenal..saya Yoga, tinggal di denpasar, kebetulan saya search tentang pertanyaan saya tentang PMK 105 yang baru khususnya pasal 3 ayat 1(a) yang agak bingung bacanya..gimana caranya kita mebuktikan bahwa AP itu dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur..memangnya mereka perusahaan khusus pengempalng hutang?(saya asumsikan ini subject pastinya badan ya..)Atau saya yang mengartikannya beda.
Senang sekali bila bisa komunikasi langsung..lewat blog saya agak gaptek nih..mungkin by email. Saya masih belajar tentang pajak, perlu rekan diskusi nih kalau ada masalah. Thanks ya..saya bisa di email langsung di yoga@courtsindonesia.com

Salam
Yoga

>> Nah, ini jg yang jadi pertanyaan saya :)

Komentar oleh Yoga | Oktober 15, 2009 | Balas

J) Numpang komentar…

Terkait Pasal 3 ayat (1) poin a, “….berkenaan dengan telah dibukukannya sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan pada tahun buku yang bersangkutan;”.

Di kantor saya juga sedang mencoba mencari2 jawaban untuk pasal tersebut. Karena memang tindakan itu, dilakukan oleh Debitur. Bukan oleh Kreditur sebagaimana peraturan terdahulu.

Untuk analisis sementara :
Memang tidak disebutkan, bagaimana kita bisa tahu kalau dalam pembukuan Debitur, hutang yang dihapus dicatat sebagai penghasilan dalam pembukuannya. Namun tidak disebutkan juga kalau Kreditur “wajib” memperlihatkan pembukuan Debitur sebagai syarat. Dengan demikian menjadi kewajiban Debitur melakukan pencatatan tersebut secara otomatis pada saat penghapusan hutang tersebut dilakukan/diberitahukan/diberikan oleh Kreditur.

Terlepas dari penghapusan hutang akan menjadi beban pajak bagi Debitur, timbul pertanyaan, bagaimana syarat tersebut bisa terpenuhi pada saat kita melaporkan ke DJP? Apa yang membuat kita yakin kalau penghapusan hutang tersebut akan telah dicatat sebagai pendapatan bagi Debitur.

Kenyataannya memang Kreditur tidak bisa memaksakan hal tersebut kalau Debitur nakal dan tidak kooperatif dalam kondisi penyelesaian hutangnya. Namun walaupun tidak serta merta Kreditur tidak bisa membuktikan pencatatan tersebut, Kreditur juga tidak harus/wajib membawa bukti pencatatan tersebut. Jadi untuk pencatatan tersebut memang menjadi tanggung jawab Debitur.

Kalau menurut saya, dengan dipenuhinya salah satu syarat dari Pasal 3 ayat (1) poin c, maka seketika itu juga “hutang Debitur” berubah menjadi “pendapatan” dalam pembukuannya. Kalau Debitur tidak mencatat itu sebagai “pendapatan” maka akan dikoreksi kembali oleh DJP pada saat lapor pajak tahunan. Dengan asumsi terjadi crosscheck oleh pihak DJP.

Yang penting kita lakukan adalah, melaporkan daftar Debitur yang mau dihapus hutangnya dan salah satu dari syarat poin c dilaksanakan (mana yang lebih memungkinkan dilakukan oleh Kreditur).

Terkait dengan nasabah pribadi yang tidak melakukan pembukuan, kondisi ini akan terlihat pada saat pelaporan pajak penghasilan. Koreksi akan terjadi oleh pihak DJP berdasarkan daftar laporan piutang tidak tertagih dari Kreditur.

Kalau saya melihat, syarat NPWP tersebut merupakan salah satu cara dari DJP untuk menjaring wajib pajak yang belum memilik NPWP. Karena pihak Bank/perusahaan pembiayaan/lembaga pemberi kredit lainnya, akan mensyaratkan NPWP pada saat pengajuan kredit. Tidak adanya dokumen tersebut akan merugikan Kreditur sendiri, karena akan mengalami kesulitan/tidak dapat menghapus piutang tak tertagih yang dimilikinya.

Bagi setiap orang yang tidak memiliki NPWP, akan mengalami kesulitan/tidak bisa mendapatkan fasilitas-fasilitas tersebut. Solusinya orang tersebut harus punya NPWP.

Thanks

EFREM

>> Terima kasih, Pak Efrem.

Komentar oleh Ephraim Hutabarat | Oktober 15, 2009 | Balas

K) bingung aku…pajek kok marai aku bingung, biasane aku ke kantor pajak…ngis form…udah

Komentar oleh plr-gratis | Desember 25, 2009 | Balas

L) [...] Piutang menurut Pajak-Part 2 Akhirnya PMK-105/PJ./2009 tentang piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari … diubah dengan PMK-57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret [...]

Ping balik oleh Penghapusan Piutang menurut Pajak-Part 2 « Triyani’s Weblog | Maret 22, 2010 | Balas

M) mba kalo mau menghapus piutang karyawan yang, karyawannya sudah tidak terdaftar sebagai karyawan gimana ya??
untuk perusahaan outsourching.
terimakasih ya mba..

0 komentar:

Posting Komentar